Wednesday 14 December 2016

Thinking about Life: Who I Was Before


In this Writing III, I have the same circumstance: same lecturer and some friends as last semester before. I know the lecturer certainly gives more challenges in this semester. On the other hand, I know also my classmates will struggle more to fix those challenges.  Therefore, I should have known what I should behave.  I should have more spirit, motivation, and inspiration. I should write as often as possible, at least more often than before. I should read many books, finding references I am interested.  It is because I have to compete with others in order to be better. However, I did not do all those things. I do not why, but i think that I am not the way I am right now. 

Last semester in Writing II, when I had an assignment, I was about to start working, at least doing brainstorming. I would do it maximally. Therefore, the night before the deadline day, I often slept late in order to revise my work multiple times. Yet, it seems a bit different in this semester. I delayed the assignments some times. I wrote and revised my work at same day. It eased me at the beginning because I did nothing, but I realized it burdened me at the end. I felt so frustrated, afraid that my work would not be finished.


I also liked to do collaborative work last semester. Besides because of sharing different ideas, to be honest, it eased me to finish the assignments—I believe my classmates have the same thought about this collaborative work. However, I now felt doing the assignments individually was better. Perhaps, I did not want to burden others—my partners—due to my personality right now. Yet, I asked someone sometimes about her or his opinion about my work. I knew someone have a different idea about something, and then I should see it from different perspective.


Besides writing on writing class, I also wrote out of this lecture last semester such as short stories and essays (short stories is the most one). Sometimes I wrote it for myself on what I think about something. Sometimes I wrote it for an event, and I got some of my short stories booked or published. But I rarely did such of those things now. Sometimes I just wrote my journal randomly once, and then stop for a few days.


“It is not me,” is my thought after thinking multiple times on what happened to me recently. One of lecturers in my university has said that to do mistake is fine since it is a proses to understand something. Therefore, I think it is the process of who truly I am. All I need to do is to do better when I see a change next to me. My life is still going on; will I get my life again?

Wednesday 9 November 2016

Pengalaman Menulis

#Curhat

 

Semenjak kecil, gue sama sekali nggak suka menulis. Gue malah lebih suka bermain dengan teman-teman di luar, seperti bermain bola, kelereng, petak umpat, batu tujuh, dan dan lain-lain (Nggak tahu sih masih ada atau enggak jenis permainan itu sekarang).

Gue juga nggak suka membaca. Bahkan ketika memasuki SMP, SMA, bacaan gue kalau ada PR atau menjelang Ujian. Oiya, tapi gue suka baca komik ketika masa sekolah. Tapi kontent utamanya tetap bukan tulisan, melainkan gambar, bukan? Komik favorit gue yaitu Detektif Conan. Gue nggak pernah beli, tapi minjam. Selalu. Namun masih ada unsur ceritanya. Setidaknya gue udah berkembang, ya kan?

Lalu beranjak masuk kuliah, ketika semester 2 gue masuk ke komunitas jejepangan gitu. Dan di situ gue ditawarin untuk ikut sebuah circle, di mana nanti bakalan bakalan nulis Light Novel (LN). Dan entah karena alasan apa, dengan begoknya gue nerima tawaran tersebut. Lalu nyampe di asrama, gue langsung googling. Apa itu Light Novel? Ternyata hampir sama dengan novel-novel pada umumnya, namun bahasa yang digunakan di sini lebih ringan dan juga ditujukan khusus untuk remaja. Makanya, sebagian orang nyimpulin kalau ini hampir mirip dengan Teenlit.

Nah, bermula dari situ gue mulai menulis. Tulisan gue cuma bermodalkan imajinasi alias khayalan semata. Gue pernah nulis tentang Raja Iblis yang terinspirasi dari Game Dota, dan juga hal-hal mistis atau bahkan magic. Gue bahkan pernah nulis tentang percintaan remaja pada umumnya. Dan gue pernah diketawain karena itu semua, diremeh-temehkan.

Tapi bodo amat. Entah bagaimana, waktu itu, gue menjadi lupa sama waktu. Hal yang cuma gue lakuin cuma nulis, nulis, dan menulis. Gue ampe lupa sama makan. Malah kadang gue nggak mau makan kalau tulisan gue belom kelar.

Tapi setelah tulisan gue kelar, dan gue baca lagi, gue selalu merasa bahwa tulisan gue ini seperti sampah. Nggak ada bagus-bagusnya, dari hasil berjam-jam yang gue habiskan itu. Dan tulisan itu gue berhentiin sampai di situ, dan gue mulai belajar bagaimana tata cara menulis. Mulai dari EYD, bahkan sampai kontent cerita.

Dari waktu-waktu, gue baca sebuah buku (gue lupa judulnya apa). Jadi  intinya, sebelum menulis novel, dianjurkan terlebih dahulu menulis cerpen. Kalau dipikir-pikir lagi, ada benernya juga. Semua butuh proses. Dari tulisan sederhana menjadi cerpen. Dari cerpen beranjak ke novel. Sebuah proses yang masuk akal menurut gue.

Jadi mulai saat itu gue mulai nulis cerpen dulu. Kadang gue nulis cerpen apa yang gue pikirin, tetapi terkadang gue nulis cerpen dari perlombaan yang diadain di sosial media seperti facebook, blog, atau sebagainya. Gue nggak pernah mendapat juara, tapi setidaknya 80 % yang gue kirim masuk jadi kontributor bahkan salah satu menjadi kontributor terbaik.

Setelah itu, akhirnya gue mutusin untuk buat novel. Tetapi gue tetap aja nggak pernah berhasil. Gue udah baca beberapa novel, gue ulang lagi, dan nulis lagi tapi tetep ga bisa. 

Gue pernah nulis sampai 3 bab, dan gue merasa gue ngingkutin ide salah satu buku yang udah gue baca. Selalu begitu. Seakan-akan otak gue berkata, "Jiplak." Dan akhirnya gue berhenti. Buka cerita baru. Dan kejadian yang sama terulang kembali. 

Dan kalian tahu? Sudah 5 Novel yang saya tulis dan gagal, karena tidak pernah selesai. Maksimal 3 chapter. Miris rasanya. Pernah berpikir gue ini nggak bakat menulis, tapi kalau dipikir-pikir lagi, gue rela menulis dalam sehari penuh gitu. Kenapa? Mungkin karena ini pashion gue. Tangan kadang gatel untuk menulis. Yang penting nulis. Tapi nulis apa? Itu kadang sulit kalau mau nulis novel. Jadi, bagaimana menulis novel? Gue masih mencari jawab itu.

Monday 7 November 2016

Tulisan Pagi Hari



Pagi ini ceritanya gue pergi lagi ke tempat tonkrongan wi-fi. Gua mau nyelesain tugas sekalian baca-baca journal yang masih ngantri di folder laptop. Tapi karena kebiasaan gua yang selalu buka-buka sosial media, secara nggak sengaja gua baca curhatan adek gua di facebook.

"Kenapa harus di facebook?" Itulah hal pertama yang gue pikirkan. Di sana itu banyak teman-temannya, dan juga ada beberapa saudara yang juga sudah bertemannya. Secara otomatis kalau mereka buka facebook, mereka bakal tahu. Apalagi ini mencangkup orang tua.

"Apa yang terjadi?" adalah hal kedua yang gue pikirkan. Gue langsung keluar tempat tonkrongan dan nelpon nyokap. Setelah Ibu gue bercerita panjang lebar dengan pertanyaan-pertanyaan gue yang singkat, akhirnya gue memberikan saran terbaik gue ke nyokap.

Maaf kalau gue nggak bisa nyebutin apa masalahnya karena emang gue bisa. Yang jelas, kalau gue ambil positifnya, hal ini cuma karena adanya kesalahpahaman semata, antara cara orang tua menyangi anaknya dan anak yang tidak memahami bagaimana cara orang tua menyayanginya.

Sehingga, si anak merasa bahwa dirinya tidak dipedulikan. Dia merasa Kakak yang jauh-lah yang lebih disayang. Padahal orang tuanya tidak tahu apa saja yang kakaknya itu lakukan di sana, Tapi lihatlah aku, pikirnya. Ya, dia ingin dilihat. Dia ingin membuktikan bahwa dia itu memang anak baik. Dia mengikuti banyak kegiatan di sekolahnya. Dia selalu mendapat urutan besar di sekolahnya. Dia sering mengikuti lomba. Dia sering mendapat piala. Tapi dia tetap tidak merasa dilihat. Apa lagi yang harus kulakukan untuk membuatmu bangga? katanya pasti.

Tetapi sang orang tua tak ingin anak wanitanya itu pergi terlalu jauh. Tak ingin ia terlalu lama meninggalkan rumah. Tak ingin ia terlalu merasa terbabani. Kenapa tidak istirahat di rumah, Nak? katanya pasti. Jika anaknya selalu jauh, apa orang tuanya harus selalu merindu? Untuk itu ia melarangnya keluar rumah di hari libur. Bahkan pada akhirnya ia tidak bisa melarang, jadi ia hanya bisa membatasi waktu pulang. Tapi sang anak juga belum pulang juga. Kenapa? Lalu pantaslah jika ia khawatir. Apa salah jika ia lalu menelepon dan mengunkapkan ke khawatirannya? Tidak.

Dan sang anak tetap tidak merasa bahwa ia khawatir. Ia sayang kepada anaknya. Apa ada alat untuk membuat seseorang mengerti? Jika ada, apa itu? Ah, semua orang pasti sudah punya jika hal itu diperjual-belikan.

Tuesday 18 October 2016

"Kita padahal maksudnya gini, tapi orang-orang berpikir gini."

Dulu kubangga,
Terhadap sebuah yang kuanggap,
pengasahan diri itu.
Sekarang kukecewa,
atas semua pemberian iman,
atas relasi-relasi itu,
karena aku kira hanya mengasah.

Ternyata lebih. Ah, aku baru sadar.


Women Should Wear Hijab Outside the House

 

 Argumentative Essay

Dambelu and Dian

 



People think that Hijab—a heads­­carf named by Islam—is only worn by Muslim women. However, women from other faiths also wear it despite not being their duty to do as believers. Regardless of their faith, those women considerate a global warming causes, such as air pollution which impact their healthy skin, and a sexual attraction which attract sexual harassment. Those crucial problems commonly happen when women stay out of the house. It is therefore, women should wear hijab when they are outside.

According to Hayati Magazine (2013), wearing hijab protects women’s hair from the sun, wind, air, rain, and other forms of pollution. Pollution and sunburn are the causes which should be taken into more consideration. Regarding the pollution itself, dirt and grime—simply called as dust—are found. As Shyamli (2013) also says, it can make hair weak and more prone to damage. At the same time, the sunburn aggravates this condition: the scalp can be damaged. One of researches indicates that sustained ultraviolet radiation on an unprotected scalp can damage the skin cells in the scalp as well as the cells of the hair follicles. Moreover, Gilbert (2015) also argues that hair symbolize the beauty for women. It means that if women’s hair is damaged, their beauty is also damaged.

A further and equally important is wearing hijab protects women from sexual harassment since they commonly hide all parts of their body. Ther­efore, they do not attract other people’s attention easily. On the other hand, women not wearing hijab mostly get the opposite. It happens since they are likely to show their beauty to public and unfortunately, as a nature of men, to enjoy the beauty body part of women is natural. To illustrate, one of the causes on how rape cases increase over the years is a massive women still wears mini-dress, whether they are a student, teacher, and so forth. Many cases happen in public transportation, for example, when those women are going to return home in the night due to the chance existence.

Some people argue that hat—or the like—is also able to cover women’s hair. Yet, it does not protect as well as hijab does. When wearing a hat, the hair damaged from the sunburn or pollution is still possible since that equipment does not cover all of the head; whereas hijab covers all. On the other case, some may think that how women dress is not the matter on how sexual harassment happens. Yet, the matter is people’s dirty-minded about them—in other words, the first impression should be underlined. To illustrate, when women wear mine-dress, men’s first impression to them are likely to be their body is beautiful. It leads men’s sexual hormone increase and leads them into dirty-minded. After realizing the chance is exist, any men may do this kind of crime anytime.

For the sake of women’s safety, wearing hijab is one of highly recommended solutions when staying out of the house. It is because of covering their all head which protect the beauty symbol of women that is hair. Moreover, it also avoids sexual harassment since they have less sexual attraction from their appearance. However, it depends on the women themselves, whether they want to protect themselves or not, by doing that kind of simple thing of course.

Friday 30 September 2016

Wanita Santa




            Pemuda berusia dua puluhan: berbadan tinggi, berselimut mantel, syal, topi dan juga sarung tangan, masih berdiri di sana—merasakan atmosfer yang tidak mengenakan. Orang-orang di belakangnya menatapnya jengkel. Mereka sudah berbaris dalam waktu yang lama hingga membentuk antrean panjang.

          “Tolong plastiknya digandakan,” kata Eidar, meletakan uang pas setelah merogoh-rogoh sekumpulan koin dan beberapa lembaran uang di kantung celananya, sementara wanita kasir terlihat begitu sibuk memasukkan berbagai macam belanjaan. 

            Dia mengucapkan terima kasih sedangkan si kasir meminta maaf berulang kali kepada para pelanggan. Akhirnya Eidar dapat menghembuskan nafas lega, berjalan keluar dari super market dengan susah payah; meletakkan kedua kantong belanjaan penuhnya setelah tepat di depan pintu. Lalu dengan erangan pelan, ia merenggangkan otot-otonya yang mulai mengeras.

Tuesday 27 September 2016

AwKarin?


Mungkin emang karena gue itu kudet ya, jadi gua nggak tau siapa itu AwKarin.

Sekitar dua bulan yang lalu, gue baca blog temen gue yang dari Jakarta, iseng sih, dan lumayan bikin gue penasaran. Tapi tetep aja, pada saat itu gue belum mau tau dan emang nggak mau tau siapa itu AwKarin.

Satu bulan yang lalu gue dapat tugas dari kampus yang biasa disebut dengan KKN. Nah, salah satu temen gue ini kebiasaannya ngestalk AwKarain mulu gitu. Mulai dari Instagram, bahkan sampai Youtube. Kalo gue nanya siapa itu AwKarin, dia jelasin panjang lebar dengan semangatnya. Dia fans AwKarin.

 As far as I know, pandangan orang-orang terhadap sosok AwKarin ini rata-rata jelek. Kenapa? Karena dia memposting hal-hal yang menurut orang-orang itu jelek. Seperti clubbing, minum, dan kemesraan dia dengan pacarnya. CMIIW Please! Ya soalnya ini sedengernya gue dari orang-orang.

Nah, jadi mumpung gue lagi di tempat tongkrongan wi-fi, dan kebetulan banget inget tentang AwKarin, jadi gue iseng aja buka Vlog-nya dia.

Well, pertama gue nonton Vlognya yang jalan-jalan ke Taman Safari. Kedua, gue nonton yang isinya iseng pake kostum Pikachu gitu.

Sejak dari awal gue nonton video-video itu, gue bisa ngerasain apa yang mereka rasain, terutama dari sisi PERTEMANAN. Ya jujur aja, gue ngebayangin salah dari mereka itu adalah gue. Atau gue ngebayangin gue bersama teman-teman gue melakukan kegilaan macam itu. Apalagi ketika yang main di mall pake seragam Pikachu itu. LOL. Sumpah gue ngakak, tapi disisi lain gue terharu.

Gue agak salut aja gitu sama mereka yang ada di kedua video tersebut. Mereka bisa mengekspresikan apapun yang mereka mauit works! Gue ngerasa bahagia.
. Mereka membagikan kebahagian kepada orang lain lewat Youtube. Dan

Ya, walaupun ada beberapa scene yang nggak pantes sih untuk di publish. Ya kalian tau lah apa itu (Kiss). Mungkin karena budaya Indonesia sendiri yang memang tidak menerima tentang hal ini. Tapi menurut gue kalau emang itu yang dipermasalahkan, kalian sama aja mencari kejelekan sisi kehidupan AwKarin itu sendiri.

Bukan hanya tentang yang kiss2 itu aja sih. Kayak semisal ngerokok dan minum juga, atau tentang pergaulannya mungkin. Kenapa harus dipermasalahkan? Toh itu hak Karin kan. Emang kalau kalian nonton dia rokok dan minum, kalian langsung terpengaruh? Enggak kan. Kalian juga punya pendirian. Gue aja sering nongkrong ngobrol sama teman-teman gue yang ngerokok. Tapi tetap aja gue nggak ikutan ngerokok. Karena gue punya pendirian.

Yap. Maaf kalau pembicaraan ngalor ngidul gini. Dan juga tulisan yang super berantakan. Gue cuma mau ngungkapin pendapat gue langsung setelah nonton video2 AwKarin itu. Hehe.

Intinya, dont judge a book by its cover. Mungkin diluar itu buruk, jelek, tapi pasti ada sisi baiknya. Kalau kata dosen gue, ambil hal positive-nya. Banyak orang bilang kalau budaya barat itu jelek; budaya timur itu lebih bagus. Tapi kalau kalian tahu, banyak hal baik yang dapat diambil dari budaya barat; dan ada hal negatif yang nggak pantas untuk diambil di budaya kita. Buktinya aja kalian masih sering nonton video barat walaupun ada unsur2 begitunya, kan?

Ucapan Ibu di Setiap Telepon

Tadi pagi, gue nelpon Ibu.

Kalau boleh dibandingin sama temen-temen yang lain, gua masuk dalam kategori "jarang" nelepon orang tua mungkin. Soalnya, biasanya orang tua yang selalu nelepon gue duluan. Dan sering kali ketika di telepon, Ibu gue berkata, "Kamu kok jarang banget nelpon orang tua sih? Nggak kangen?"

Well, anggap saja seminggu sudah gua nggak ditelpon. Tiba-tiba gue bertanya-tanya, kok tumben Ibu nggak nelpon ya? Muncul sedikit rasa khawatir waktu itu. Akhirnya, kemarin malam, gue nelpon Ibu. Udah 2x gue telpon, tapi nggak diangkat. Gue coba untuk berpikiran positive. Semua baik-baik saja.

Nah, pas bangun pun nggak ada telpon balik dari Ibu. Ada apa ya? Gue ambil hape, dan langsung pencet kontak Ibu. Panggilan pertama. Nggak diangkat. Panggilan kedua. Nggak diangkat.
Panggilan ketiga. Akhirnya diangkat.

Ya, akhirnya diangkat. Kata Ibu gue semalam dia sudah tidur, jadi nggak tahu kalau ada telpon.
Diakhir percakapan, Ibu gue bilang kalau jangan lupa sarapan. "Jangan lupa sarapan!" Dan itu diucapkan setiap kali telepon.

Gue ingat banget.

Tapi tetap aja sih, muncul pertanyaan iseng. Kenapa gitu? Kenapa harus jangan lupa sarapan, bukannya, jangan lupa untuk tidur lebih awal?


Monday 11 July 2016

Senin Pagi Yang Tak Biasa


Dambelu

Hari ini akan ada apa, ya?
Gue harap ada sesuatu yang menghibur hari ini.
Ratu menghembuskan nafas, meyakinkan diri setelah berbicara dengan dirinya sendiri di depan kaca sebuah toko yang dilewati.
Pagi nampaknya sedang ingin berdamai: ia begitu sejuk, namun juga menyelimutinya hingga terasa hangat. Ratu masih berjalan di atas trotoar. Sambil mendengarkan musik dengan earphone-nya, ia juga mengamati sekitar. Nampaknya orang-orang juga merasakan hal yang sama, walau ia melihat satu-dua yang terlihat sibuk dengan ponsel dan arlojinya. Nah, namanya juga hidup, pikirnya terus berjalan. Kadang daun-daun kecil dari pohon di sekitarnya berjatuhan, berterbangan jauh melambai-lambai. Ia jadi teringat film-film drama Korea yang ia tonton jikalau sedang senggang. Pagi yang romantis, pikirnya.
Ketika lagu ke-5 terputar, Ratu tiba di halte. Ah, kenapa hari ini rasanya menyenangkan sekali? benaknya tersenyum-senyum sendiri; melebarkan kedua tangannya di udara lepas. Orang-orang di sekitar halte kadang melirik ke arahnya heran. Kepalanya bergoyang-goyang ke sana-sini dengan kecepatan yang tak biasa. Mereka berpikir, apa hanya anak ini yang bahagia ketika hari Senin tiba?
Bus yang sedang ia tunggu akhirnya muncul. Seketika ia menyadari satu hal: “Benar, namanya juga hidup. Saatnya kembali ngampus.”
***

Thursday 7 July 2016

Percakapan di Sela-Sela Kesempitan

by:
Dambelu R 

Liburan semester telah tiba. Langit pagi tampaknya agak sedikit mendung. Namun aku harus tetap bersiap-siap untuk pindah kos untuk tahun ini.
Semua baju dan barang-barang lainnya sudah kumasukkan dalam koper. Kecuali beberapa buku yang tersisa di dalam lemari yang kusam ini. Satu persatu kumasukkan ke dalam tas yang khusus untuk buku setelah kubaca dalam sekilas. Buku-buku tersebut umumnya membahas tentang keislaman, termasuk buku yang sedang kubaca kali ini. Namun, tidak seperti sebelumnya, aku tidak meletakkan buku itu, melainkan terpaku pada satu bab, yang berjudul “Silaturahim”. Judul yang mengingatkanku pada kejadian beberapa bulan yang lalu, ketika liburan pendek tiba.
Sungguh, aku tidak pernah tahu apa yang Allah rencanakan, hingga membuat diri ini begitu penasaran.

Wednesday 29 June 2016

Ketukan Tembok di Malam Hari

By:
Dambelu R


Bagi kalian yang percaya tentang dunia perhantuan, tenang, kalian tidak salah; pun tidak benar. Bagi kalian yang tidak percaya tentang hal itu, aku harap kalian selalu dalam kondisi yang baik. Ingat, semua bisa terjadi begitu saja. Begitu saja. Kalian tak tahu apa yang akan terjadi pada dirimu selanjutnya. Kalian hanyalah manusia.

Maaf, kalimat-kalimat di atas tidak begitu berguna. Anggap saja sebagai kalimat pengantar.

***

Wednesday 15 June 2016

Angin di Bulan Desember

by:
Dambelu

Dari kejauhan, seseorang mendekat di antara kerumunan banyak orang.
Rani mematung seketika. Mulutnya beralih membentuk huruf O. Rok abu-abu yang ia kenakan diremas sekuat tenaga. Kini, jantungnya berdetak secepat lelaki tersebut melangkah.
Rani ingin berlari menjauh, tapi entah mengapa dirinya merasa tak sanggup.
Ketika lelaki itu sudah berada di hadapannya, ia seolah tenggelam dalam lautan yang luas nan dangkal. Sesak, kemudian gelap.
Mereka saling menatap. Kemudian kelopak mata Rani mulai pecah dengan air mata.
“Kenapa!?” ucap si lelaki.
Dan untuk yang kedua kalinya, kini suara lantangnya terdengar lebih keras. Di tengah-tengah keramaian, pandangan orang-orang yang sedang berlalu-lalang berpusat pada mereka berdua.
Rani hanya menunduk menahan isak, menutup muka dengan kedua tangan, dan seketika tangisnya menghebat.
“Pato…, maaf,” ucap lirih dari mulut mungilnya. Mungkin terlalu sederhana, tapi Pato yakin Rani mengucapkannya dengan ketulusan hati.
Pato kemudian meraih memeluk tubuhnya. Rani hanya bisa pasrah dalam pelukan yang hangat itu. Kehangatan yang ia inginkan; yang ia rindukan. Ia membalasnya dengan nikmat.
Hingga beberapa saat menikmati suasana, ia menatap langit-langit, lalu berbisik, “Aku hanya takut, bahwa suatu hari nanti kau akan mencintaiku.”
Mendengar perkataannya barusan, Pato merasa kecewa. Ternyata Rani belum juga mengakui keberadaan perasaannya. Padahal tiga tahun sudah mereka menjalani hari-hari bersama.
“Dan kau perlu tahu, bahwa aku sudah terlanjur jatuh hati padamu. Lantas, apa yang salah?”
 “Jelas itu salah,” ujar Rani dengan suara tegasnya yang sudah kembali. “Ketika seseorang mulai mencintai, perasaan itu akan menjadi sebuah kebencian. Dan ketika hal itu terjadi, maka ia akan segera menghilang.”
“Dan kamu,” lanjutnya menjauh dari pelukan, “akan segera lenyap dari kehidupanku.”
Lalu, angin terakhir pada bulan Desember berhembus membekukan suasana.

Saturday 4 June 2016

The Mirror of English Usage



Mostly countries agree that English is as lingua franca. Realizing the fact that it is an important language, many Indonesian schools have developed a policy to use English as a Medium Instruction (EMI) (Shintawati: 2015). Indeed, youth—often called as “the agent of change”—as student, is the subject who has to learn English besides their mother tongue. They are young people whose age are between 13-19 years old so that they are mostly still going to senior high school or even have been in a college. However, even though the schools have already implemented that policy, some students still ignore it; some still passionately learn about it. Consequently, whether both of them are able to master English or not, they will have significant differences in the future.

Tuesday 10 May 2016

Me and Collaborative Essay



It was Sunday evening, around 8, when preparing my lectures as usual, I remembered that my class would have mid-test on Writing II the next day. At that time, I was a bit worried whether I could do it or not. Therefore, I just focused studying on that lecture, reviewing all materials which had been explained. I heard that the test would be individual but I thought it was still collaborative since I would be in group. Moreover, the test was to make a bulletin project, 1-week deadline. I could not wait the test any longer because I guessed, it would be one of my best writing experiences.

Sunday 1 May 2016

Tips on Sleep Tight

By:

Dambelu
Rofi
Aang




            For some of you, having insomnia is one of the most annoying things in life. In fact, you mostly struggle to sleep by many ways until the midnight comes or even more. Consequently, if it continuously happens and becomes your daily routines, you may get bad effects in doing activities, such as feeling lazy, having no energy, or others worse. However, to have a sleep tight is not difficult as its thought if you know the strategies to do it.

Wednesday 27 April 2016

ICP vs Non-ICP

By:

Dambelu and Aychan


Since 2010, State Islamic Universities (UIN) Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang has implemented International Class Program (ICP) using bilingual teaching—Bahasa and English—as medium of instruction. This program is located in faculty of Education (Tarbiyah) which has six departments: Islamic Elementary Teacher Education, Social Science Education, Islamic Religion Education, Arabic Language Education, Islamic Education Management, and Raudhatul Athfal Teacher Education. It is well-known by non-ICP or Regular Class since students there study as what all students generally do. Nevertheless, due to its particular characteristic, ICP becomes difference with Regular class in some aspects.

Thursday 14 April 2016

Sumatran Elephant on High Alert

by: Dambelu


Nowadays, Elephas maximus sumatranus, which is well-known By Sumatran elephant, has been labeled as critically endangered animal. Over the past around 25 years, in 2012, the population of this animal has decreased dramatically to be 2.400-2.800, while 5.000 in 1985. However, there must be causes why it happened, whether due to the elephant itself or even human’s intervention.

Thursday 31 March 2016

Ketika Lo Dapat Teman Sekelompok ‘Yang Begitu’ di Sekolah

by: Dambelu

            Gue yakin, ketika kalian berada di sekolah, bahkan kuliah, pernah dapatin beberapa  teman sekelompok “yang begitu” untuk mengerjakan suatu tugas. Maksudnya? Ya, pasti kalian tahulah, semacam, malas, bodoh, nggak berguna, nyusahin pula. Yang pada intinya, mereka-mereka itu nggak berkontribusi bahkan sama sekali dalam kerja kelompok alias kalianlah yang akhirnya bekerja keras sendiri. Dan ketika guru/dosen lo bertanya mau diganti atau enggak anggota kelompoknya, pasti lo menjawab “IYA!”, dengan suara yang lantang pula. Mungkin beberapa dari kalian yang merasakan hal itu akan berpikir, “Gue capek!” atau bahkan “Bodo amatlah, teman sekelompok gue begitu, sih!” Tapi, meskipun begitu, kalian nggak boleh membenci, atau menjauhi teman-teman seperjuangan lo begitu saja, melainkan harus merangkul mereka ke jalan yang benar.

Sunday 27 March 2016

What should a host do?



                Sometimes poeple are still confused or even mistaken when they are being a host in a talk show event. However, being a host is not difficult as they think if they have already known about the basic. Well, here are my understanding of being a host.

a.        Set the background of the talk show
·         Is it live talk show or not?
·         What is the talk show about?
·         Is the circumstance serious, or humor?
·         Have the stage been set properly?
b.        Have a great opening
·         Control the audience to make them pay attention to the talk show
·         Introduce who the guest(s) is(are) to the audience
c.         Control the context of the talk show
·         The way the host give questions and response guest’s answers are very important
·         Keep controlling the time
d.        Have a great behavior (depends on what kind of talk show is)
·         The gesture—including facial expressions
o Relax
·         Eyes contact—between the guest(s) and the audience/camera
·         Sometimes, make a joke is fine but do not be too often.
e.         Have a great closing
·           Give a final touch.

Sunday 20 March 2016

Sahabat Monyet-Laspel

Sahabat Monyet-Laspel
Udah terlihat seperti ustad belum mereka? Haha. Bukan, mereka bukan ustad. Walaupun satu dari mereka benar-benar berkepribadian ustad, atau bahkan suatu saat nanti beberapa dari mereka ada yang benar-benar menjadi ustad. Anyway, foto di atas diambil ketika sedang dalam rangka Buka Bersama kelas 91atau lebih tepatnya Reuni 91. Tentunya, jumlah wanita yang hadir pun banyak saat itu, mungkin, dua kali lipatnya, dan salah satu dari merekalah yang menjepret foto ini. Well, tetapi saya tidak ingin membahas tentang BukBernya, ya, melainkan tentang siapa dan bagaimana mereka menurut kacamataku.

Sesusai sebutannya, Sahabat Monyet, kita-mereka-saya adalah sahabat semenjak SMP. Entah dari