Friday, 30 September 2016

Wanita Santa




            Pemuda berusia dua puluhan: berbadan tinggi, berselimut mantel, syal, topi dan juga sarung tangan, masih berdiri di sana—merasakan atmosfer yang tidak mengenakan. Orang-orang di belakangnya menatapnya jengkel. Mereka sudah berbaris dalam waktu yang lama hingga membentuk antrean panjang.

          “Tolong plastiknya digandakan,” kata Eidar, meletakan uang pas setelah merogoh-rogoh sekumpulan koin dan beberapa lembaran uang di kantung celananya, sementara wanita kasir terlihat begitu sibuk memasukkan berbagai macam belanjaan. 

            Dia mengucapkan terima kasih sedangkan si kasir meminta maaf berulang kali kepada para pelanggan. Akhirnya Eidar dapat menghembuskan nafas lega, berjalan keluar dari super market dengan susah payah; meletakkan kedua kantong belanjaan penuhnya setelah tepat di depan pintu. Lalu dengan erangan pelan, ia merenggangkan otot-otonya yang mulai mengeras.

          Besok adalah hari natal. Paman, bibi, dan beserta semua sepupunya akan berpesta di rumahnya malam ini, bahkan—ia yakin betul—pasti ada yang bermalam. Arlogi di tangannya menunjukkan pukul tujuh. Yah, setidaknya ia masih puya waktu sekitar dua jam untuk menghilangkan rasa penat. Jadi ia merapatkan kerah; melanjutkan perjalanannya ke suatu tempat.
         Beberapa menit kemudian, Eidar tiba di sebuah café favoritnya, tempat di mana ia biasa menghabiskan waktu bersama teman-teman. Café itu sederhana, bukan tempat yang tepat untuk orang-orang yang beruang—mereka bisa mencari tempat yang lebih mewah. Begitu masuk, aroma khas yang tak lagi asing tercium. Seorang pelayan terlihat sibuk membereskan cangkir-cangkir yang ada di atas meja-meja. Sementara tak ada pelanggan yang tampak, ia mencari tempat duduk di dekat jendela, dan setelahnya, meletakkan kedua kantung plastik itu di samping kaki-kaki meja, mengarahkan pandangan ke luar jendela.
            Semua nampak putih bercahaya. Lampu-lampu di sepanjang trotoar membuat butiran kristal yang berjatuhan semakin berkilau. Kota ini memang mampu menyihir semua sudut menjadi beku. Hampir tidak ada lagi kendaraan yang berlalu-lalang. Semua penhuni Hokkaido pasti sedang menyiapkan natal terbaiknya tahun ini, walau sederetan toko—dengan huruf hiragana yang berwarna-warni—di seberang sana terlihat masih menunggu para pelanggan…
            Pikirannya secara mendadak bergeser pada keluarganya di rumah. Bagaimana ayah dan adik perempuannya menyiapkan pohon natal di ruang tamu yang sederhana, menghiasainya dengan berbagai lampu kelap-kelip dan lipatan origami (bentuknya pasti akan buruk sekali). Sementara si ibu rumah tangga mondar-mandir, memperhatikan babi yang sedang dalam panggangan sambil memberi berbagai macam perintah terhadap suami dan anaknya yang sama-sama kewalahan. Eidar bisa membayangkan betapa sibuknya rumah hangat itu sebelum dipenuhi oleh sanak-saudaranya nanti….
            Entah apa yang terjadi, seakan-akan pindah ke dimensi lain (sensasi macam ini?), tiba-tiba saja seorang wanita melintas di balik jendela itu.
            Ada secercah cahaya yang mengirinya. Jikalau terdapat sayap di balik punggung itu, pastilah ia seorang bidadari. Kalaupun tidak ada, mungkin, ia adalah bidadari yang menjelma sebagai seorang manusia. Atau bisa jadi, ia merupakan sebuah hadiah dari si pria tua Santa.
            Eidar mengetuk-ngetuk jendela tak karuan dengan sendirinya. Entah kenapa juga ia melakukan hal itu? Beberapa ketuk, si wanita berhenti, lalu menoleh. Mata mereka kini saling bertemu. Namun jantung Eidar tiba-tiba saja berhenti berdetak.
            Wanita itu melanjutkan langkahnya, bukan menjauh, melelainkan masuk ke dalam café. Eidar melongok ke sana-sini. Tak ada pengunjung. Café sudah sepi. Hanya akan tinggal mereka… berdua.
           Wanita itu mendekat dengan langkah yang begitu anggun. Eidar duduk menganga layaknya seorang bocah, memperhatikan setiap bagian tubuhnya dari atas ke bawah. Rambut lurus seleher yang rata poni sealis itu diusap-usap; salju yang sebelumnya menempel lalu berjatuhan, seakan-akan hal itu adalah sebuah efek yang sengaja ditimbulkan, dan Eidar yakin, setiap lelaki pasti akan sudah gila jika melihat momen tersebut. Tubuhnya yang terbalut jaket dan celana jeans begitu ideal, sulit memang untuk digambarkan, namun Eidar hampir tidak bisa membandingkannya dengan artis papan atas yang sering tayang di televisi. Bahkan ketika wanita itu menarik kursi di depannya, mungkin itu adalah salah satu pose terindah dari yang terindah lainnya.
            Eidar hanya mampu menelan ludah dengan berat.
            Oh, Santa.
           Wanita itu duduk seraya mencondongkan wajahnya ke depan. Kini batang hidung mereka hanya tinggal beberapa senti. Eidar dapat melihat wajahnya sendiri dengan bayang-bayang butiran salju di keindahan bola mata wanita itu; bahkan ia dapat merasakan aroma parfum vanilla yang semerbak. Sementara jantungnya mulai berdetak, dan ia mulai merasa khawatir, alih-alih melonjak keluar. Wanita itu pasti mendengarnya dengan jelas….
           “Apa kabar?” tanya si wanita genit. Mata biru dan bibir pucatnya itu mendekat, yang sedikit lagi akan membuat sebuah ciuman.
            “A-apa?” sahut Eidar gugup, hampi saja ia terpental ke belakang.
            Si wanita menarik mundur wajahnya. Agak kecewa. “Aku menanyakan kabarmu.”
            “Kenapa kau menanyakan kabarku?”
            “Kenapa kau bertanya mengapa?”
            “Baiklah, lupakan,” Eidar berusaha mengatur nafas. “Siapa kamu?”
            “Bukankah kau yang memanggilku?”
            “Oh,” Eidar mengingat-ingat kembali. “Kau mirip seseorang.”
           “Kau benar-benar tidak mengenalku?” tanya si wanita sambil memain-mainkan lentik jemarinya.
            “Apakah kita pernah bertemu di suatu tempat?”
            “Kurasa tidak.”
            Ada jeda sesat.
            “Lantas, kenapa kau bertindak seakan-akan kita ini saling kenal?”
            “Kau juga bertindak demikian—“
            “Hanya kebetulan,” cepat-cepat Eidar mengoreksi.
            “Aku tak yakin.”
            “Begini saja, bagaimana kau bisa mengenalku? Sedangkan kita belum pernah bertemu—“
            “Siapa bilang aku mengenalmu?”
            Eidar sempat merasa cemas.
            “Sudah selesai? Kalau begitu aku pergi.”
           Si wanita hampir beranjak dari tempat duduknya, tetapi Eidar menghentikannya dengan berkata:
            “Tunggu. Setidaknya beritahu aku siapa namamu dan darimana kamu berasal.”
            “Aku tidak tahu asal-usulku. Tiba-tiba saja muncul. Tiba-tiba saja berjalan di hadapanmu. Siapa peduli?”
            “Kau bukan manusia.”
            “Mungkin saja.”
            “Tidak. Dengar, aku hanya bergurau—“
            “Siapa yang tahu?”
            Dalam keheningan panjang, mereka hanya saling menatap satu sama lain. Salju turun kian lebat, hingga akhirnya Eidar mulai memecahkan suasana.
            “Lalu, bagaimana aku akan memanggilmu jika kita bertemu di suatu tempat nanti?”
            Wanita itu mendorong kursinya, berdiri membelakangi Eidar, lalu berkata:
            “Panggil saja aku: Wanita Santa.”
            Dan si wanita pun berjalan keluar, hingga benar-benar lenyap dari pandangan. Wanita itu datang dan pergi begitu saja.
            “Permisi. Café ini sudah mau ditutup.”
            Eidar mengucek-ngucek matanya, dan meminta si pelayan untuk mengucapkan perkataanya barusan. Si pelayan berkata sudah mengatakan hal yang sama berulang kali. Sementara ia tak sengaja melihat arlojinya, dan sudah hampir menunjukan pukul 9. Keluarganya pasti sudah menunggu cemas, begitu juga paman, bibi, dan lainnya. Mereka pasti sedang menunggu hidangan makanan dengan buas. Jadi ia mengucapkan maaf kepada pelayan, kembali menenteng kedua kantung plastik penuh, lalu keluar dari café, menyusuri gang-gang kecil menuju kediaman hangatnya.
           Berjalan di kegelapan jalan setepak di antara dua bangunan yang menjulang tinggi, Eidar menengadahkan pandangannya ke langit, melihat keindahan bintang-bintang yang tersamari oleh nafasnya yang mengepul seperti uap. Sepertinya ia baru saja merasakan mimpi yang indah, dan juga menjengkelkan. 
Sial.
 Ia merasa sangat kedinginan. Ditambah lagi, ia tak yakin akan mendapatkan haidah kali ini. Seperti pada natal-natal sebelumnya.










No comments:

Post a Comment

Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini