Pemuda berusia dua puluhan: berbadan
tinggi, berselimut mantel, syal, topi dan juga sarung tangan, masih berdiri di
sana—merasakan atmosfer yang tidak mengenakan. Orang-orang di belakangnya
menatapnya jengkel. Mereka sudah berbaris dalam waktu yang lama hingga
membentuk antrean panjang.
“Tolong plastiknya digandakan,” kata
Eidar, meletakan uang pas setelah merogoh-rogoh sekumpulan koin dan beberapa
lembaran uang di kantung celananya, sementara wanita kasir terlihat begitu
sibuk memasukkan berbagai macam belanjaan.
Dia mengucapkan terima kasih
sedangkan si kasir meminta maaf berulang kali kepada para pelanggan. Akhirnya
Eidar dapat menghembuskan nafas lega, berjalan keluar dari super market dengan
susah payah; meletakkan kedua kantong belanjaan penuhnya setelah tepat di depan
pintu. Lalu dengan erangan pelan, ia merenggangkan otot-otonya yang mulai
mengeras.
Besok adalah hari natal. Paman,
bibi, dan beserta semua sepupunya akan berpesta di rumahnya malam ini,
bahkan—ia yakin betul—pasti ada yang bermalam. Arlogi di tangannya menunjukkan
pukul tujuh. Yah, setidaknya ia masih puya waktu sekitar dua jam untuk
menghilangkan rasa penat. Jadi ia merapatkan kerah; melanjutkan perjalanannya
ke suatu tempat.
Beberapa menit kemudian, Eidar tiba
di sebuah café favoritnya, tempat di mana ia biasa menghabiskan waktu bersama
teman-teman. Café itu sederhana, bukan tempat yang tepat untuk orang-orang yang
beruang—mereka bisa mencari tempat yang lebih mewah. Begitu masuk, aroma khas
yang tak lagi asing tercium. Seorang pelayan terlihat sibuk membereskan
cangkir-cangkir yang ada di atas meja-meja. Sementara tak ada pelanggan yang
tampak, ia mencari tempat duduk di dekat jendela, dan setelahnya, meletakkan
kedua kantung plastik itu di samping kaki-kaki meja, mengarahkan pandangan ke
luar jendela.
Semua nampak putih bercahaya.
Lampu-lampu di sepanjang trotoar membuat butiran kristal yang berjatuhan
semakin berkilau. Kota ini memang mampu menyihir semua sudut menjadi beku.
Hampir tidak ada lagi kendaraan yang berlalu-lalang. Semua penhuni Hokkaido
pasti sedang menyiapkan natal terbaiknya tahun ini, walau sederetan toko—dengan
huruf hiragana yang berwarna-warni—di seberang sana terlihat masih menunggu
para pelanggan…
Pikirannya secara mendadak bergeser
pada keluarganya di rumah. Bagaimana ayah dan adik perempuannya menyiapkan
pohon natal di ruang tamu yang sederhana, menghiasainya dengan berbagai lampu
kelap-kelip dan lipatan origami (bentuknya pasti akan buruk sekali). Sementara si
ibu rumah tangga mondar-mandir, memperhatikan babi yang sedang dalam panggangan
sambil memberi berbagai macam perintah terhadap suami dan anaknya yang
sama-sama kewalahan. Eidar bisa membayangkan betapa sibuknya rumah hangat itu
sebelum dipenuhi oleh sanak-saudaranya nanti….
Entah apa yang terjadi, seakan-akan
pindah ke dimensi lain (sensasi macam ini?), tiba-tiba saja seorang wanita
melintas di balik jendela itu.
Ada secercah cahaya yang mengirinya.
Jikalau terdapat sayap di balik punggung itu, pastilah ia seorang bidadari.
Kalaupun tidak ada, mungkin, ia adalah bidadari yang menjelma sebagai seorang
manusia. Atau bisa jadi, ia merupakan sebuah hadiah dari si pria tua Santa.
Eidar mengetuk-ngetuk jendela tak
karuan dengan sendirinya. Entah kenapa juga ia melakukan hal itu? Beberapa
ketuk, si wanita berhenti, lalu menoleh. Mata mereka kini saling bertemu. Namun
jantung Eidar tiba-tiba saja berhenti berdetak.
Wanita itu melanjutkan langkahnya,
bukan menjauh, melelainkan masuk ke dalam café. Eidar melongok ke sana-sini.
Tak ada pengunjung. Café sudah sepi. Hanya akan tinggal mereka… berdua.
Wanita itu mendekat dengan langkah
yang begitu anggun. Eidar duduk menganga layaknya seorang bocah, memperhatikan
setiap bagian tubuhnya dari atas ke bawah. Rambut lurus seleher yang rata poni
sealis itu diusap-usap; salju yang sebelumnya menempel lalu berjatuhan,
seakan-akan hal itu adalah sebuah efek yang sengaja ditimbulkan, dan Eidar
yakin, setiap lelaki pasti akan sudah gila jika melihat momen tersebut.
Tubuhnya yang terbalut jaket dan celana jeans
begitu ideal, sulit memang untuk digambarkan, namun Eidar hampir tidak bisa
membandingkannya dengan artis papan atas yang sering tayang di televisi. Bahkan
ketika wanita itu menarik kursi di depannya, mungkin itu adalah salah satu pose
terindah dari yang terindah lainnya.
Eidar hanya mampu menelan ludah
dengan berat.
Oh,
Santa.
Wanita itu duduk seraya
mencondongkan wajahnya ke depan. Kini batang hidung mereka hanya tinggal
beberapa senti. Eidar dapat melihat wajahnya sendiri dengan bayang-bayang butiran
salju di keindahan bola mata wanita itu; bahkan ia dapat merasakan aroma parfum
vanilla yang semerbak. Sementara jantungnya mulai berdetak, dan ia mulai merasa
khawatir, alih-alih melonjak keluar. Wanita itu pasti mendengarnya dengan
jelas….
“Apa kabar?” tanya si wanita genit.
Mata biru dan bibir pucatnya itu mendekat, yang sedikit lagi akan membuat
sebuah ciuman.
“A-apa?” sahut Eidar gugup, hampi
saja ia terpental ke belakang.
Si wanita menarik mundur wajahnya.
Agak kecewa. “Aku menanyakan kabarmu.”
“Kenapa kau menanyakan kabarku?”
“Kenapa kau bertanya mengapa?”
“Baiklah, lupakan,” Eidar berusaha
mengatur nafas. “Siapa kamu?”
“Bukankah kau yang memanggilku?”
“Oh,” Eidar mengingat-ingat kembali.
“Kau mirip seseorang.”
“Kau benar-benar tidak mengenalku?”
tanya si wanita sambil memain-mainkan lentik jemarinya.
“Apakah kita pernah bertemu di suatu
tempat?”
“Kurasa tidak.”
Ada jeda sesat.
“Lantas, kenapa kau bertindak
seakan-akan kita ini saling kenal?”
“Kau juga bertindak demikian—“
“Hanya kebetulan,” cepat-cepat Eidar
mengoreksi.
“Aku tak yakin.”
“Begini saja, bagaimana kau bisa
mengenalku? Sedangkan kita belum pernah bertemu—“
“Siapa bilang aku mengenalmu?”
Eidar sempat merasa cemas.
“Sudah selesai? Kalau begitu aku
pergi.”
Si wanita hampir beranjak dari
tempat duduknya, tetapi Eidar menghentikannya dengan berkata:
“Tunggu. Setidaknya beritahu aku
siapa namamu dan darimana kamu berasal.”
“Aku tidak tahu asal-usulku.
Tiba-tiba saja muncul. Tiba-tiba saja berjalan di hadapanmu. Siapa peduli?”
“Kau bukan manusia.”
“Mungkin saja.”
“Tidak. Dengar, aku hanya bergurau—“
“Siapa yang tahu?”
Dalam keheningan panjang, mereka
hanya saling menatap satu sama lain. Salju turun kian lebat, hingga akhirnya
Eidar mulai memecahkan suasana.
“Lalu, bagaimana aku akan
memanggilmu jika kita bertemu di suatu tempat nanti?”
Wanita itu mendorong kursinya,
berdiri membelakangi Eidar, lalu berkata:
“Panggil saja aku: Wanita Santa.”
Dan si wanita pun berjalan keluar,
hingga benar-benar lenyap dari pandangan. Wanita itu datang dan pergi begitu
saja.
“Permisi. Café ini sudah mau
ditutup.”
Eidar mengucek-ngucek matanya, dan
meminta si pelayan untuk mengucapkan perkataanya barusan. Si pelayan berkata
sudah mengatakan hal yang sama berulang kali. Sementara ia tak sengaja melihat
arlojinya, dan sudah hampir menunjukan pukul 9. Keluarganya pasti sudah
menunggu cemas, begitu juga paman, bibi, dan lainnya. Mereka pasti sedang
menunggu hidangan makanan dengan buas. Jadi ia mengucapkan maaf kepada pelayan,
kembali menenteng kedua kantung plastik penuh, lalu keluar dari café, menyusuri
gang-gang kecil menuju kediaman hangatnya.
Berjalan di kegelapan jalan setepak
di antara dua bangunan yang menjulang tinggi, Eidar menengadahkan pandangannya
ke langit, melihat keindahan bintang-bintang yang tersamari oleh nafasnya yang
mengepul seperti uap. Sepertinya ia baru saja merasakan mimpi yang indah, dan
juga menjengkelkan.
Sial.
Ia merasa sangat kedinginan. Ditambah lagi, ia
tak yakin akan mendapatkan haidah kali ini. Seperti pada natal-natal
sebelumnya.
No comments:
Post a Comment
Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini