Tuesday 24 January 2017

Missing


Di suatu tempat yang tidak kebanyakan orang tahu, terdapat seorang pria sedang duduk di atas kursi bergoyang di balkon kamarnya, memandang seisi kota; memandang indahnya bulan. Ia sering melakukan hal tersebut akhir-akhir ini, apalagi ditambah sebotol anggur dan lagu-lagu bernuansa Roma. Ah, lagi-lagi. Kenapa di sela-sela itu semua, ia sering mempertanyakan dirinya kenapa sering memikirkan teman-teman lamanya? Kalau dipikir-pikir, sudah bertahun-tahun ia tidak berjumpa dengan mereka, karena sudah bertahun-tahun pula ia tidak berada di negara asalnya sejak kelulusan.
.
Mungkin, pria itu sedang merindu.

Tuesday 3 January 2017

Mojokerto: Mimpi di Ujung Maut




Pertengahan juli yang mendung, namun tak juga kunjung hujan. Pada akhirnya aku berangkat menuju Mojokerto, tempat di mana salah satu saudara temanku tinggal. Awalnya aku ragu pergi untuk beberapa alasan. Pertama, aku merasa sedikit malas; aku ingin melakukan sesuatu yang lain. Kedua, apa yang akan aku lakukan sesampainya di sana? Toh, aku tidak mempunyai urusan. Untuk alasan-alasan lainnya, entah, aku lupa.
            Di perjalanan aku hampir takjub setiap waktu. Bagaimana tidak, di setiap mata memandang, berbagai dedaunan hijau selalu nampak. Mereka begitu rapih. Maklum, karena memang begitulah seharusnya perkebunan tertata. Belum lagi dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi, dilengkapi dengan pemandangan pedesaan dan sungai-sungai kecil di kaki-kaki mereka. Melihat itu semua, aku memejamkan mata, lalu mencoba merasakan nikmat itu semua dengan menghirupnya. Sudah lama aku tak merasakan ini; merasakan ciptaan Tuhan, benakku. Aku juga tak tahu mengapa tiba-tiba aku memikirkan hal itu, tetapi mungkin ini karena aku sudah tinggal di perkotaan besar yang dipenuhi oleh desakan gedung-gedung bertingkat, dan juga kendaraan yang menyembur polusi di sana-sini.
            Kami tiba di tempat tujuan sekitar ba’da ashar, lalu kami dijamu dengan sangat baik: kami dihidangkan beberapa minuman dan juga semangkuk bakso, dan kemudian kami beranjak tidur untuk istirahat.
            Setelah itu kami bangun—temanku sudah bangun terlebih dahulu, bersiap-siap untuk salat magrib, dan beberapa saat kemudian, kami berjalan menuju rumah saudaranya yang satu lagi—entah siapa itu. Kami saling bersapa ramah dengan ibu dan bapak rumah, dan aku juga mengenalkan diri. Lalu disambut oleh perbincangan ringan yang entah ke mana arah tujunya. Terkadang mereka menanyakan tentang kota kelahiranku, namun yang paling banyak dibicarakan di sana adalah tentang persoalan pengolahan makanan dan kesehatan—yang tentunya belum pernah kuketahui sebelumnya.
 Hingga beberapa lama menit berlalu, ketika si bapak keluar sebentar dan kami hendak berpamitan, si ibu berkata memecahkan keheningan, “Saya pernah bermimpi,” katanya, “entah kalian mau percaya atau tidak.”