Tuesday 3 January 2017

Mojokerto: Mimpi di Ujung Maut




Pertengahan juli yang mendung, namun tak juga kunjung hujan. Pada akhirnya aku berangkat menuju Mojokerto, tempat di mana salah satu saudara temanku tinggal. Awalnya aku ragu pergi untuk beberapa alasan. Pertama, aku merasa sedikit malas; aku ingin melakukan sesuatu yang lain. Kedua, apa yang akan aku lakukan sesampainya di sana? Toh, aku tidak mempunyai urusan. Untuk alasan-alasan lainnya, entah, aku lupa.
            Di perjalanan aku hampir takjub setiap waktu. Bagaimana tidak, di setiap mata memandang, berbagai dedaunan hijau selalu nampak. Mereka begitu rapih. Maklum, karena memang begitulah seharusnya perkebunan tertata. Belum lagi dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi, dilengkapi dengan pemandangan pedesaan dan sungai-sungai kecil di kaki-kaki mereka. Melihat itu semua, aku memejamkan mata, lalu mencoba merasakan nikmat itu semua dengan menghirupnya. Sudah lama aku tak merasakan ini; merasakan ciptaan Tuhan, benakku. Aku juga tak tahu mengapa tiba-tiba aku memikirkan hal itu, tetapi mungkin ini karena aku sudah tinggal di perkotaan besar yang dipenuhi oleh desakan gedung-gedung bertingkat, dan juga kendaraan yang menyembur polusi di sana-sini.
            Kami tiba di tempat tujuan sekitar ba’da ashar, lalu kami dijamu dengan sangat baik: kami dihidangkan beberapa minuman dan juga semangkuk bakso, dan kemudian kami beranjak tidur untuk istirahat.
            Setelah itu kami bangun—temanku sudah bangun terlebih dahulu, bersiap-siap untuk salat magrib, dan beberapa saat kemudian, kami berjalan menuju rumah saudaranya yang satu lagi—entah siapa itu. Kami saling bersapa ramah dengan ibu dan bapak rumah, dan aku juga mengenalkan diri. Lalu disambut oleh perbincangan ringan yang entah ke mana arah tujunya. Terkadang mereka menanyakan tentang kota kelahiranku, namun yang paling banyak dibicarakan di sana adalah tentang persoalan pengolahan makanan dan kesehatan—yang tentunya belum pernah kuketahui sebelumnya.
 Hingga beberapa lama menit berlalu, ketika si bapak keluar sebentar dan kami hendak berpamitan, si ibu berkata memecahkan keheningan, “Saya pernah bermimpi,” katanya, “entah kalian mau percaya atau tidak.”
Kami hanya bersiap untuk mendengar. “Mimpi apa?”
“Saya dulu pernah mengajar di sekolah dasar, tetapi saya pikir saat itu saya harus segera pensiun—oh, ya, tepatnya 4 tahun yang lalu. Maklum, tubuh saya sudah tidak kuat lagi seperti kalian, namun saya masih memiliki cukup semangat kalau mau diadu.”
Kami masih menyimak. Aku mengemil beberapa kacang dan kue sisa lebarang yang ada dihadapanku.
“Silahkan dimakan. Nah, sampai mana tadi? Oh, ya, itu,” lanjutnya. “Waktu itu adalah hari natal kalau tidak salah, 25 Desember, ketika sanak saudara ingin pergi ke suatu tempat yang jauh—saya lupa di mana itu, karena saya tadinya menolak untuk ikut: saya sudah terlalu lelah karena kegiatan pada hari itu dan sebelumnya. Namun kalau dipikir-pikir kembali, bagaimana bisa saya tidak ikut, padahal saudara-saudara dari berbagai kota, bahkan luar pulau, menyempatkan waktunya untuk berkumpul? Jadi di sanalah saya, di dalam mobil besar beserta keluarga besar, di tengah-tengah hujan yang melanda. Saya memutuskan untuk ikut.”
“Lalu karena terlalu lelah, Ibu memutuskan untuk tidur dan saat itulah ibu bermimpi?” celetukku sambil terus mengunyah.
“Awalnya itulah yang saya rencanakan. Tetapi sepertinya takdir mengatakan hal lain. Tiba-tiba saja di tengah ramainya perbincangan di dalam mobil, napas saya melemah. Lalu sesak. Sangat sesak. Sampai-sampai rasanya hampir tidak lagi akan bernapas.”
Aku berhenti mengunyah. Aku juga berharap Ibu itu tidak melanjutkan kisahnya. Aku tidak ingin dibuat penasaran karenanya. Temanku hanya diam saja. Nampaknya dia tidak terlalu antusias untuk mendengar semenjak tadi.
“Semua orang panik,” lanjutnya. “Kakak saya, yang menyupir, dengan tanpa pikir panjang langsung memutar arah untuk mencari rumah sakit terdekat. Entah, kalau tidak salah kami sedang di Kediri saat itu. Lalu saya dirawat di rumah sakit sana selama dua hari dan saya kembali normal, namun saya harus tetap dirawat. Jadi saya dipindahkan di rumah sakit di daerah Mojokerto, agar kalau sesuatu terjadi tidak terlalu merepotkan.”
“Lalu tentang mimpi itu?” tanyaku tak sabaran.
“Nah, itu. Setelah beberapa saat saya dipindahkan, saya koma. Ya, koma. Dan saat itulah saya bermimpi.”
“Koma?” tanya temanku, yang sebelumnya juga aku ingin tanyakan.
“Ya. Kata suami, saya koma selama sepuluh jam.”
“Jadi apa yang ibu mimpikan selama sepuluh jam itu?” tanyaku.
“Mimpi dimulai ketika saya digandeng oleh dua lelaki gagah, dengan penampilan ala prajurit kerajaan—tetapi saya marasa yakin seperti sedang ditahan, namun bukan. Saya dibawa oleh mereka, berjalan—namun tidak benar-benar berjalan—ke suatu tempat yang lapang nan luas. Aku bertanya di mana ini, dan mereka menjawab di suatu tempat yang bernama Mahsyar. Seketika saya sadar bahwa saya sedang tidak di dunia.”
“Padang Mahsyar?”
“Di sana saya melihat berbagai orang. Ada yang menari-nari, bernyanyi, tertawa, menangis, dan juga terdiam. Ada yang berpenampilan seperti kera, babi, entah hanya sebagian maupun seluruh tubuh. Dan berbagai macam jenis binatang lainnya.”
“Lalu?”
“Saya terus dibawa, lurus ke depan, hingga saya dihadapkan dengan wajah anak-anak dan saudara-saudara saya. Saya sangat mengenal mereka. Sangat. Mereka tersenyum. Begitupun ketika saya mengajar mereka dulu. Di samping mengajar di sekolah, saya juga mengajar ngaji pada anak-anak di sekitar sini. Namun yang saya heran, bagaimana bisa mereka tidak menyapa saya, yang tengah berjalan layaknya seorang tahanan di antara mereka? Mereka tidak menolong saya.
“Lalu hingga saat beberapa lama berlalu, saya berhenti di ujung jalan, dan saya terhentak didorong ke depan. Dua lelaki gagah itu menghilang entah ke mana. Lalu saya kembali menoleh ke depan, dan munculah seorang wanita berparas cantik—sangat cantik. Susah untuk bagaimana menggambarkan seperti apa ia, namun seperti wanita kerajaan yang sering dibayangkan, namun saya berani bertaruh, ia jauh lebih cantik. Lalu tiba-tiba saja dia berkata, dengan suara paling lembut yang pernah saya dengar, ‘Tenang, anak-anakmu masih membutuhkanmu di sana.’
“Kemudian semua pemandang yang terlihat sebelumnya hilang, berubah menjadi gelap. Lalu muncul cahaya lain, dan saya tahu bahwa saya terbangun dari koma itu, dan saya melihat suami beserta kedua anak saya menangis sambil tersenyum. Anak-anak? Saya masih memikirkan hal itu. Anakku cuma dua. Ternyata saya sadar, apa yang dimaksud adalah anak-anak yang saya lewati ketika sedang ditahan oleh dua pria gagah itu?
“Dan mungkin karena itulah saya selamat dari maut. Amalan itu. Kalian tahu apa yang saya maksud? Karena saya pernah mendengar dari seorang Ustad: tidak ada satu hal pun yang bisa menolongmu kecuali amalanmu itu."

No comments:

Post a Comment

Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini