Pertengahan
juli yang mendung, namun tak juga kunjung hujan. Pada akhirnya aku berangkat
menuju Mojokerto, tempat di mana salah satu saudara temanku tinggal. Awalnya
aku ragu pergi untuk beberapa alasan. Pertama, aku merasa sedikit malas; aku
ingin melakukan sesuatu yang lain. Kedua, apa yang akan aku lakukan sesampainya
di sana? Toh, aku tidak mempunyai urusan. Untuk alasan-alasan lainnya, entah,
aku lupa.
Di perjalanan aku hampir takjub
setiap waktu. Bagaimana tidak, di setiap mata memandang, berbagai dedaunan
hijau selalu nampak. Mereka begitu rapih. Maklum, karena memang begitulah
seharusnya perkebunan tertata. Belum lagi dengan gunung-gunung yang menjulang
tinggi, dilengkapi dengan pemandangan pedesaan dan sungai-sungai kecil di kaki-kaki
mereka. Melihat itu semua, aku memejamkan mata, lalu mencoba merasakan nikmat
itu semua dengan menghirupnya. Sudah lama aku tak merasakan ini; merasakan
ciptaan Tuhan, benakku. Aku juga tak tahu mengapa tiba-tiba aku memikirkan hal
itu, tetapi mungkin ini karena aku sudah tinggal di perkotaan besar yang
dipenuhi oleh desakan gedung-gedung bertingkat, dan juga kendaraan yang
menyembur polusi di sana-sini.
Kami tiba di tempat tujuan sekitar
ba’da ashar, lalu kami dijamu dengan sangat baik: kami dihidangkan beberapa
minuman dan juga semangkuk bakso, dan kemudian kami beranjak tidur untuk
istirahat.
Setelah itu kami bangun—temanku
sudah bangun terlebih dahulu, bersiap-siap untuk salat magrib, dan beberapa
saat kemudian, kami berjalan menuju rumah saudaranya yang satu lagi—entah siapa
itu. Kami saling bersapa ramah dengan ibu dan bapak rumah, dan aku juga
mengenalkan diri. Lalu disambut oleh perbincangan ringan yang entah ke mana
arah tujunya. Terkadang mereka menanyakan tentang kota kelahiranku, namun yang paling
banyak dibicarakan di sana adalah tentang persoalan pengolahan makanan dan
kesehatan—yang tentunya belum pernah kuketahui sebelumnya.
Hingga beberapa lama menit berlalu, ketika si
bapak keluar sebentar dan kami hendak berpamitan, si ibu berkata memecahkan
keheningan, “Saya pernah bermimpi,” katanya, “entah kalian mau percaya atau
tidak.”
Kami
hanya bersiap untuk mendengar. “Mimpi apa?”
“Saya
dulu pernah mengajar di sekolah dasar, tetapi saya pikir saat itu saya harus
segera pensiun—oh, ya, tepatnya 4 tahun yang lalu. Maklum, tubuh saya sudah tidak
kuat lagi seperti kalian, namun saya masih memiliki cukup semangat kalau mau
diadu.”
Kami
masih menyimak. Aku mengemil beberapa kacang dan kue sisa lebarang yang ada
dihadapanku.
“Silahkan
dimakan. Nah, sampai mana tadi? Oh, ya, itu,” lanjutnya. “Waktu itu adalah hari
natal kalau tidak salah, 25 Desember, ketika sanak saudara ingin pergi ke suatu
tempat yang jauh—saya lupa di mana itu, karena saya tadinya menolak untuk ikut:
saya sudah terlalu lelah karena kegiatan pada hari itu dan sebelumnya. Namun
kalau dipikir-pikir kembali, bagaimana bisa saya tidak ikut, padahal
saudara-saudara dari berbagai kota, bahkan luar pulau, menyempatkan waktunya
untuk berkumpul? Jadi di sanalah saya, di dalam mobil besar beserta keluarga
besar, di tengah-tengah hujan yang melanda. Saya memutuskan untuk ikut.”
“Lalu
karena terlalu lelah, Ibu memutuskan untuk tidur dan saat itulah ibu bermimpi?”
celetukku sambil terus mengunyah.
“Awalnya
itulah yang saya rencanakan. Tetapi sepertinya takdir mengatakan hal lain.
Tiba-tiba saja di tengah ramainya perbincangan di dalam mobil, napas saya
melemah. Lalu sesak. Sangat sesak. Sampai-sampai rasanya hampir tidak lagi akan
bernapas.”
Aku
berhenti mengunyah. Aku juga berharap Ibu itu tidak melanjutkan kisahnya. Aku
tidak ingin dibuat penasaran karenanya. Temanku hanya diam saja. Nampaknya dia
tidak terlalu antusias untuk mendengar semenjak tadi.
“Semua
orang panik,” lanjutnya. “Kakak saya, yang menyupir, dengan tanpa pikir panjang
langsung memutar arah untuk mencari rumah sakit terdekat. Entah, kalau tidak
salah kami sedang di Kediri saat itu. Lalu saya dirawat di rumah sakit sana
selama dua hari dan saya kembali normal, namun saya harus tetap dirawat. Jadi
saya dipindahkan di rumah sakit di daerah Mojokerto, agar kalau sesuatu terjadi
tidak terlalu merepotkan.”
“Lalu
tentang mimpi itu?” tanyaku tak sabaran.
“Nah,
itu. Setelah beberapa saat saya dipindahkan, saya koma. Ya, koma. Dan saat
itulah saya bermimpi.”
“Koma?”
tanya temanku, yang sebelumnya juga aku ingin tanyakan.
“Ya.
Kata suami, saya koma selama sepuluh jam.”
“Jadi
apa yang ibu mimpikan selama sepuluh jam itu?” tanyaku.
“Mimpi
dimulai ketika saya digandeng oleh dua lelaki gagah, dengan penampilan ala
prajurit kerajaan—tetapi saya marasa yakin seperti sedang ditahan, namun
bukan. Saya dibawa oleh mereka, berjalan—namun tidak benar-benar berjalan—ke
suatu tempat yang lapang nan luas. Aku bertanya di mana ini, dan mereka
menjawab di suatu tempat yang bernama Mahsyar. Seketika saya sadar bahwa saya
sedang tidak di dunia.”
“Padang
Mahsyar?”
“Di
sana saya melihat berbagai orang. Ada yang menari-nari, bernyanyi, tertawa,
menangis, dan juga terdiam. Ada yang berpenampilan seperti kera, babi, entah
hanya sebagian maupun seluruh tubuh. Dan berbagai macam jenis binatang lainnya.”
“Lalu?”
“Saya
terus dibawa, lurus ke depan, hingga saya dihadapkan dengan wajah anak-anak dan
saudara-saudara saya. Saya sangat mengenal mereka. Sangat. Mereka tersenyum. Begitupun
ketika saya mengajar mereka dulu. Di samping mengajar di sekolah, saya juga
mengajar ngaji pada anak-anak di sekitar sini. Namun yang saya heran, bagaimana
bisa mereka tidak menyapa saya, yang tengah berjalan layaknya seorang tahanan
di antara mereka? Mereka tidak menolong saya.
“Lalu
hingga saat beberapa lama berlalu, saya berhenti di ujung jalan, dan saya
terhentak didorong ke depan. Dua lelaki gagah itu menghilang entah ke mana.
Lalu saya kembali menoleh ke depan, dan munculah seorang wanita berparas
cantik—sangat cantik. Susah untuk bagaimana menggambarkan seperti apa ia, namun seperti wanita
kerajaan yang sering dibayangkan, namun saya berani bertaruh, ia jauh lebih
cantik. Lalu tiba-tiba saja dia berkata, dengan suara paling lembut yang pernah saya dengar, ‘Tenang, anak-anakmu masih membutuhkanmu di sana.’
“Kemudian
semua pemandang yang terlihat sebelumnya hilang, berubah menjadi gelap. Lalu
muncul cahaya lain, dan saya tahu bahwa saya terbangun dari koma itu, dan saya
melihat suami beserta kedua anak saya menangis sambil tersenyum. Anak-anak? Saya
masih memikirkan hal itu. Anakku cuma dua. Ternyata saya sadar, apa yang dimaksud adalah anak-anak
yang saya lewati ketika sedang ditahan oleh dua pria gagah itu?
“Dan
mungkin karena itulah saya selamat dari maut. Amalan itu. Kalian tahu apa yang saya maksud? Karena saya pernah mendengar dari seorang Ustad: tidak ada satu hal
pun yang bisa menolongmu kecuali amalanmu itu."
No comments:
Post a Comment
Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini