Wednesday 9 November 2016

Pengalaman Menulis

#Curhat

 

Semenjak kecil, gue sama sekali nggak suka menulis. Gue malah lebih suka bermain dengan teman-teman di luar, seperti bermain bola, kelereng, petak umpat, batu tujuh, dan dan lain-lain (Nggak tahu sih masih ada atau enggak jenis permainan itu sekarang).

Gue juga nggak suka membaca. Bahkan ketika memasuki SMP, SMA, bacaan gue kalau ada PR atau menjelang Ujian. Oiya, tapi gue suka baca komik ketika masa sekolah. Tapi kontent utamanya tetap bukan tulisan, melainkan gambar, bukan? Komik favorit gue yaitu Detektif Conan. Gue nggak pernah beli, tapi minjam. Selalu. Namun masih ada unsur ceritanya. Setidaknya gue udah berkembang, ya kan?

Lalu beranjak masuk kuliah, ketika semester 2 gue masuk ke komunitas jejepangan gitu. Dan di situ gue ditawarin untuk ikut sebuah circle, di mana nanti bakalan bakalan nulis Light Novel (LN). Dan entah karena alasan apa, dengan begoknya gue nerima tawaran tersebut. Lalu nyampe di asrama, gue langsung googling. Apa itu Light Novel? Ternyata hampir sama dengan novel-novel pada umumnya, namun bahasa yang digunakan di sini lebih ringan dan juga ditujukan khusus untuk remaja. Makanya, sebagian orang nyimpulin kalau ini hampir mirip dengan Teenlit.

Nah, bermula dari situ gue mulai menulis. Tulisan gue cuma bermodalkan imajinasi alias khayalan semata. Gue pernah nulis tentang Raja Iblis yang terinspirasi dari Game Dota, dan juga hal-hal mistis atau bahkan magic. Gue bahkan pernah nulis tentang percintaan remaja pada umumnya. Dan gue pernah diketawain karena itu semua, diremeh-temehkan.

Tapi bodo amat. Entah bagaimana, waktu itu, gue menjadi lupa sama waktu. Hal yang cuma gue lakuin cuma nulis, nulis, dan menulis. Gue ampe lupa sama makan. Malah kadang gue nggak mau makan kalau tulisan gue belom kelar.

Tapi setelah tulisan gue kelar, dan gue baca lagi, gue selalu merasa bahwa tulisan gue ini seperti sampah. Nggak ada bagus-bagusnya, dari hasil berjam-jam yang gue habiskan itu. Dan tulisan itu gue berhentiin sampai di situ, dan gue mulai belajar bagaimana tata cara menulis. Mulai dari EYD, bahkan sampai kontent cerita.

Dari waktu-waktu, gue baca sebuah buku (gue lupa judulnya apa). Jadi  intinya, sebelum menulis novel, dianjurkan terlebih dahulu menulis cerpen. Kalau dipikir-pikir lagi, ada benernya juga. Semua butuh proses. Dari tulisan sederhana menjadi cerpen. Dari cerpen beranjak ke novel. Sebuah proses yang masuk akal menurut gue.

Jadi mulai saat itu gue mulai nulis cerpen dulu. Kadang gue nulis cerpen apa yang gue pikirin, tetapi terkadang gue nulis cerpen dari perlombaan yang diadain di sosial media seperti facebook, blog, atau sebagainya. Gue nggak pernah mendapat juara, tapi setidaknya 80 % yang gue kirim masuk jadi kontributor bahkan salah satu menjadi kontributor terbaik.

Setelah itu, akhirnya gue mutusin untuk buat novel. Tetapi gue tetap aja nggak pernah berhasil. Gue udah baca beberapa novel, gue ulang lagi, dan nulis lagi tapi tetep ga bisa. 

Gue pernah nulis sampai 3 bab, dan gue merasa gue ngingkutin ide salah satu buku yang udah gue baca. Selalu begitu. Seakan-akan otak gue berkata, "Jiplak." Dan akhirnya gue berhenti. Buka cerita baru. Dan kejadian yang sama terulang kembali. 

Dan kalian tahu? Sudah 5 Novel yang saya tulis dan gagal, karena tidak pernah selesai. Maksimal 3 chapter. Miris rasanya. Pernah berpikir gue ini nggak bakat menulis, tapi kalau dipikir-pikir lagi, gue rela menulis dalam sehari penuh gitu. Kenapa? Mungkin karena ini pashion gue. Tangan kadang gatel untuk menulis. Yang penting nulis. Tapi nulis apa? Itu kadang sulit kalau mau nulis novel. Jadi, bagaimana menulis novel? Gue masih mencari jawab itu.

Monday 7 November 2016

Tulisan Pagi Hari



Pagi ini ceritanya gue pergi lagi ke tempat tonkrongan wi-fi. Gua mau nyelesain tugas sekalian baca-baca journal yang masih ngantri di folder laptop. Tapi karena kebiasaan gua yang selalu buka-buka sosial media, secara nggak sengaja gua baca curhatan adek gua di facebook.

"Kenapa harus di facebook?" Itulah hal pertama yang gue pikirkan. Di sana itu banyak teman-temannya, dan juga ada beberapa saudara yang juga sudah bertemannya. Secara otomatis kalau mereka buka facebook, mereka bakal tahu. Apalagi ini mencangkup orang tua.

"Apa yang terjadi?" adalah hal kedua yang gue pikirkan. Gue langsung keluar tempat tonkrongan dan nelpon nyokap. Setelah Ibu gue bercerita panjang lebar dengan pertanyaan-pertanyaan gue yang singkat, akhirnya gue memberikan saran terbaik gue ke nyokap.

Maaf kalau gue nggak bisa nyebutin apa masalahnya karena emang gue bisa. Yang jelas, kalau gue ambil positifnya, hal ini cuma karena adanya kesalahpahaman semata, antara cara orang tua menyangi anaknya dan anak yang tidak memahami bagaimana cara orang tua menyayanginya.

Sehingga, si anak merasa bahwa dirinya tidak dipedulikan. Dia merasa Kakak yang jauh-lah yang lebih disayang. Padahal orang tuanya tidak tahu apa saja yang kakaknya itu lakukan di sana, Tapi lihatlah aku, pikirnya. Ya, dia ingin dilihat. Dia ingin membuktikan bahwa dia itu memang anak baik. Dia mengikuti banyak kegiatan di sekolahnya. Dia selalu mendapat urutan besar di sekolahnya. Dia sering mengikuti lomba. Dia sering mendapat piala. Tapi dia tetap tidak merasa dilihat. Apa lagi yang harus kulakukan untuk membuatmu bangga? katanya pasti.

Tetapi sang orang tua tak ingin anak wanitanya itu pergi terlalu jauh. Tak ingin ia terlalu lama meninggalkan rumah. Tak ingin ia terlalu merasa terbabani. Kenapa tidak istirahat di rumah, Nak? katanya pasti. Jika anaknya selalu jauh, apa orang tuanya harus selalu merindu? Untuk itu ia melarangnya keluar rumah di hari libur. Bahkan pada akhirnya ia tidak bisa melarang, jadi ia hanya bisa membatasi waktu pulang. Tapi sang anak juga belum pulang juga. Kenapa? Lalu pantaslah jika ia khawatir. Apa salah jika ia lalu menelepon dan mengunkapkan ke khawatirannya? Tidak.

Dan sang anak tetap tidak merasa bahwa ia khawatir. Ia sayang kepada anaknya. Apa ada alat untuk membuat seseorang mengerti? Jika ada, apa itu? Ah, semua orang pasti sudah punya jika hal itu diperjual-belikan.