Tuesday 24 January 2017

Missing


Di suatu tempat yang tidak kebanyakan orang tahu, terdapat seorang pria sedang duduk di atas kursi bergoyang di balkon kamarnya, memandang seisi kota; memandang indahnya bulan. Ia sering melakukan hal tersebut akhir-akhir ini, apalagi ditambah sebotol anggur dan lagu-lagu bernuansa Roma. Ah, lagi-lagi. Kenapa di sela-sela itu semua, ia sering mempertanyakan dirinya kenapa sering memikirkan teman-teman lamanya? Kalau dipikir-pikir, sudah bertahun-tahun ia tidak berjumpa dengan mereka, karena sudah bertahun-tahun pula ia tidak berada di negara asalnya sejak kelulusan.
.
Mungkin, pria itu sedang merindu.

.
Lantas, setelah menyesap anggur yang terakhir, ia beranjak ke dalam dan membuka laptop, lalu menelusuri facebook. Mungkin masih terdapat sebuah grup teman-teman lamanya itu yang terpendam…. Tidak, ternyata ia sudah memiliki ribuan grup, jadi ia cari saja semua teman-temannya di sana. Tapi temannya di facebook sudah menjadi puluhan ribu. Sial, ia lelah sekali menggerakan jemari tengahnya untuk men-scrool. Namun ditengah-tengah pencarian, ia mengenal seorang di antara teman-teman lamanya yang lain. Ia buka profilnya, mencari nomor ponselnya di sana.
.
Ia mengambil ponsel, menekan digit nomer itu, menarik nafas dalam- dalam dan, menekan tombol hijau.
.
Ia ragu. Namun, akhirnya tersambung.
.
“Halo?” kata lawan bicaranya kemudian. “Halo? Maaf?” ulangnya, begitu lembut dan damai di telinga.
.
 “He-hei. Apa kabar?” pria itu akhirnya menyahut setelah beberapa detik berlalu.
.
“Siapa?”
.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
.
 “Apa? Oh, aku sedang memasak air. Aku ingin menyedu kopi.”
.
“Kedengarannya nikmat,” katanya kemudian menuju balkon kembali. “Aku sedang memandang indahnya bulan.”
.
“Hei, bukankah aku tadi bertanya ini siapa?”
.
“Jangan begitu. Aku tahu kau tahu siapa aku.”
.
 “Maaf, tapi aku benar-benar tidak tahu. Oh, airnya sudah matang.”
.
 Lalu, si pria menceritakan siapa dirinya. Si wanita mendengarkan dengan begitu senang.
.
 “Oh, astaga! Jadi ini kau! Kapan kau kembali? Hei, hei! Sombong sekali kau teman lama!
.
Ada ledakan tawa di antara mereka berdua.
.
“Ya, maaf. Sudah dua minggu aku di sini dan, ya, kau bisa menyebutku seperti itu—sombong.”
.
“Bagaimana kau bisa menemukan nomerku setelah bertahun-tahun lamanya? Bukankah itu—“
.
“Tidak, aku hanya secara kebetulan menemukan akun berserta nomermu di facebook.”
.
“Oh,.” Terdengar ada suara sesapan. “Sudah lama aku tidak membukanya.”
.
“Ya, eh, jadi begitulah. Sepertinya kita harus bertemu di suatu tempat. Kapan kau ada jam kosong?” kata si pria, hendak kembali ke dalam. “Dan, punyakah kau beberapa nomer teman-teman yang lain?”
.
“Ya, tentu.” Untuk kedua kalinya suara sesapan terdengar. “Tapi entah. Yang jelas, kita harus mengadakan reuni kecil-kecilan terlebih dahulu, bukan?”


Keesokkannya di awal hari yang bersemangat, karena di sepanjang perjalanannya dengan sepeda motor terdapat orang-orang berolahraga, menyirami tanaman, atau hanya sekedar berjalan-jalan untuk beraktifitas. Wajah-wajah itu begitu bersinar dan menampakkan secercah kebahagiaan. Jadi ia menghirup udara segar dengan nikmat, tahu bahwa ia mempunyai pertemuan penting.
.
Ia tiba di suatu kafe, dengan nuansa klasik berwarna cokelat. Ia masuk ke dalam, dan mendapati seorang wanita duduk sendirian di dekat jendela. Ia hanya mengira-ngira, apakah wanita itu adalah wanita yang bersamanya di sambungan telepon…
.
“Hei, kau…”
.
“Kawan lama?” si wanita tersenyum, berdiri dan menjabat tangan. Ia juga ikut tersenyum. Lalu duduk secara bersamaan.
.
“Jadi,” kata si pria setelah beberapa detik kemudian, “di mana yang lain?”.
.
“Oh, maafkan aku. Sungguh. Nomer mereka sepertinya sudah tidak aktif. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.”
.
“Semuanya? Aku minta Latte. Trims,” katanya setelah si palayan datang.
.
“Aku juga,” kata si wanita terhadap palayan. “Ya. Semuanya.”
.
“Sayang sekali. Padahal aku berniat untuk mengadakan pesta.”.
 .
“Benarkah?” si wanita memandang ke luar jendela sekilas. “Sayang sekali.”
.
“Apa yang terjadi?”
.
“Hmm.. apa yang terjadi? Tidak, tidak terjadi apa-apa. Hanya saja, kupikir, semuanya telah berubah.”
.
“Semuanya pasti akan berubah. Tidak ada yang salah dengan hal itu.”
.
Sang pelayan kembali membawa dua gelas Latte. Cepat sekali ia kembali, benak mereka berdua.
.
Si wanita menyicipi Latte-nya. “Ya, aku tahu itu. Maksudku, tidak ada yang mengatakan bahwa hal itu adalah sesuatu yang salah. Tetapi lihatlah,” ia kembali menyicipi Latte-nya. “hampir saja kau seperti teman lama yang lain.”
.
“Coba jelaskan padaku. Aku tidak begitu paham dengan perkataanmu barusan.”
.
 “Kau sukses, dan kupikir semua teman lama kita juga demikian. Coba lihat dirimu. Kau berkelana ke negara yang jauh dari sini, bertemu orang-orang baru, hidup bahagia, hingga kau lupa apa yang ada di negara asalmu selama kau masih di sana. Kau lupa terhadapku, kawan-kawan lamamu, atau mungkinkah keluargamu pula? Tetapi untunglah, kau hanya mendekati hal itu. Faktanya, kau masih ingat denganku; kau masih ingat dengan kawan lamamu. Aku bersyukur. Selamat datang kembali.”
.
Mereka berdua menenggak Latte-nya secara bersamaan.
.
“Asal kau tahu,” lanjutnya, “hanya kaulah yang pertama kali menghubungiku dari sekian tahun lamanya. Aku sudah mencoba mengirim kabar kepada yang lain, tetapi tak ada jawaban. Kudengar beberapa ada yang ke luar negeri dan menetap—tetapi tidak tahu juga. Yang jelas, mereka sungguh tidak ingin tahu apa yang terjadi padaku, atau terhadap lainnya. Sebagai kawan—Maaf, sepertinya aku sudah terlalu banyak bicara?”
.
“Memang begini sikapmu. Tenang, aku mendengarkan.”
.
 “Ya, jadi begitulah. Persetan. Mereka tidak tahu betapa rindunya aku terhadap mereka. Mereka tidak tahu betapa sepinya aku tanpa mereka. Yah, walau kutahu, pasti ada orang-orang baru yang selalu hadir dalam hidup seiring berjalan waktu. Tetapi ‘mereka’ belum tentu bisa menggantikan ‘mereka’—tidak, memang tidak bisa. Sial. Maafkan aku. Aku tidak bisa mengontrol laju kataku.”
.
Si pria memandang keluar jendela sambil menenggak Latte-nya, lalu kembali menatap wanita di hadapannya. Terlihat beningan air yang terbendung di mata wanita itu. “Mau menemaniku berjalan-jalan untuk mengingatkanku kembali dengan kota lama?”
.
Si wanita menghabiskan Latte-nya dalam satu tenggakan, dan setelahnya ia berdiri dan menyeret tangan si lelaki. “Tentu. Kau pasti akan terkejut melihatnya.”

No comments:

Post a Comment

Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini