.
Lantas, setelah menyesap anggur yang
terakhir, ia beranjak ke dalam dan membuka laptop, lalu menelusuri facebook. Mungkin masih terdapat sebuah
grup teman-teman lamanya itu yang terpendam…. Tidak, ternyata ia sudah memiliki
ribuan grup, jadi ia cari saja semua teman-temannya di sana. Tapi temannya di
facebook sudah menjadi puluhan ribu. Sial, ia lelah sekali menggerakan jemari
tengahnya untuk men-scrool. Namun
ditengah-tengah pencarian, ia mengenal seorang di antara teman-teman lamanya
yang lain. Ia buka profilnya, mencari nomor ponselnya di sana.
.
.
Ia mengambil ponsel, menekan digit
nomer itu, menarik nafas dalam- dalam dan, menekan tombol hijau.
.
.
Ia ragu. Namun, akhirnya tersambung.
.
.
“Halo?” kata lawan bicaranya
kemudian. “Halo? Maaf?” ulangnya, begitu lembut dan damai di telinga.
.
.
“He-hei. Apa kabar?” pria itu
akhirnya menyahut setelah beberapa detik berlalu.
.
.
“Siapa?”
.
.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
.
.
“Apa? Oh, aku sedang memasak air.
Aku ingin menyedu kopi.”
.
.
“Kedengarannya nikmat,” katanya
kemudian menuju balkon kembali. “Aku sedang memandang indahnya bulan.”
.
.
“Hei, bukankah aku tadi bertanya ini
siapa?”
.
.
“Jangan
begitu. Aku tahu kau tahu siapa aku.”
.
.
“Maaf, tapi aku benar-benar tidak
tahu. Oh, airnya sudah matang.”
.
.
Lalu, si pria menceritakan siapa
dirinya. Si wanita mendengarkan dengan begitu senang.
.
.
“Oh, astaga! Jadi ini kau! Kapan kau
kembali? Hei, hei! Sombong sekali kau teman lama!
.
.
Ada ledakan tawa di antara mereka
berdua.
.
.
“Ya, maaf. Sudah dua minggu aku di
sini dan, ya, kau bisa menyebutku seperti itu—sombong.”
.
.
“Bagaimana kau bisa menemukan
nomerku setelah bertahun-tahun lamanya? Bukankah itu—“
.
.
“Tidak, aku hanya secara kebetulan
menemukan akun berserta nomermu di facebook.”
.
.
“Oh,.” Terdengar ada suara sesapan.
“Sudah lama aku tidak membukanya.”
.
.
“Ya, eh, jadi begitulah. Sepertinya
kita harus bertemu di suatu tempat. Kapan kau ada jam kosong?” kata si pria,
hendak kembali ke dalam. “Dan, punyakah kau beberapa nomer teman-teman yang
lain?”
.
.
“Ya, tentu.” Untuk kedua kalinya
suara sesapan terdengar. “Tapi entah. Yang jelas, kita harus mengadakan reuni
kecil-kecilan terlebih dahulu, bukan?”
Keesokkannya di awal hari yang
bersemangat, karena di sepanjang perjalanannya dengan sepeda motor terdapat
orang-orang berolahraga, menyirami tanaman, atau hanya sekedar berjalan-jalan
untuk beraktifitas. Wajah-wajah itu begitu bersinar dan menampakkan secercah
kebahagiaan. Jadi ia menghirup udara segar dengan nikmat, tahu bahwa ia
mempunyai pertemuan penting.
.
.
Ia tiba di suatu kafe, dengan nuansa
klasik berwarna cokelat. Ia masuk ke dalam, dan mendapati seorang wanita duduk
sendirian di dekat jendela. Ia hanya mengira-ngira, apakah wanita itu adalah
wanita yang bersamanya di sambungan telepon…
.
.
“Hei, kau…”
.
.
“Kawan lama?” si wanita tersenyum, berdiri
dan menjabat tangan. Ia juga ikut tersenyum. Lalu duduk secara bersamaan.
.
.
“Jadi,” kata si pria setelah
beberapa detik kemudian, “di mana yang lain?”.
.
.
“Oh, maafkan aku. Sungguh. Nomer
mereka sepertinya sudah tidak aktif. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.”
.
.
“Semuanya? Aku minta Latte. Trims,”
katanya setelah si palayan datang.
.
.
“Aku juga,” kata si wanita terhadap
palayan. “Ya. Semuanya.”
.
.
“Sayang sekali. Padahal aku berniat
untuk mengadakan pesta.”.
.
.
“Benarkah?” si wanita memandang ke
luar jendela sekilas. “Sayang sekali.”
.
.
“Apa yang terjadi?”
.
.
“Hmm.. apa yang terjadi? Tidak,
tidak terjadi apa-apa. Hanya saja, kupikir, semuanya telah berubah.”
.
.
“Semuanya pasti akan berubah. Tidak
ada yang salah dengan hal itu.”
.
.
Sang pelayan kembali membawa dua
gelas Latte. Cepat sekali ia kembali, benak mereka berdua.
.
.
Si wanita menyicipi Latte-nya. “Ya,
aku tahu itu. Maksudku, tidak ada yang mengatakan bahwa hal itu adalah sesuatu
yang salah. Tetapi lihatlah,” ia kembali menyicipi Latte-nya. “hampir saja kau
seperti teman lama yang lain.”
.
.
“Coba jelaskan padaku. Aku tidak
begitu paham dengan perkataanmu barusan.”
.
.
“Kau sukses, dan kupikir semua teman
lama kita juga demikian. Coba lihat dirimu. Kau berkelana ke negara yang jauh
dari sini, bertemu orang-orang baru, hidup bahagia, hingga kau lupa apa yang
ada di negara asalmu selama kau masih di sana. Kau lupa terhadapku, kawan-kawan
lamamu, atau mungkinkah keluargamu pula? Tetapi untunglah, kau hanya mendekati
hal itu. Faktanya, kau masih ingat denganku; kau masih ingat dengan kawan lamamu.
Aku bersyukur. Selamat datang kembali.”
.
.
Mereka berdua menenggak Latte-nya
secara bersamaan.
.
.
“Asal kau tahu,” lanjutnya, “hanya
kaulah yang pertama kali menghubungiku dari sekian tahun lamanya. Aku sudah
mencoba mengirim kabar kepada yang lain, tetapi tak ada jawaban. Kudengar
beberapa ada yang ke luar negeri dan menetap—tetapi tidak tahu juga. Yang
jelas, mereka sungguh tidak ingin tahu apa yang terjadi padaku, atau terhadap
lainnya. Sebagai kawan—Maaf, sepertinya aku sudah terlalu banyak bicara?”
.
.
“Memang begini sikapmu. Tenang, aku
mendengarkan.”
.
.
“Ya, jadi begitulah. Persetan.
Mereka tidak tahu betapa rindunya aku terhadap mereka. Mereka tidak tahu betapa
sepinya aku tanpa mereka. Yah, walau kutahu, pasti ada orang-orang baru yang
selalu hadir dalam hidup seiring berjalan waktu. Tetapi ‘mereka’ belum tentu
bisa menggantikan ‘mereka’—tidak, memang tidak bisa. Sial. Maafkan aku. Aku
tidak bisa mengontrol laju kataku.”
.
.
Si pria memandang keluar jendela sambil
menenggak Latte-nya, lalu kembali menatap wanita di hadapannya. Terlihat
beningan air yang terbendung di mata wanita itu. “Mau menemaniku berjalan-jalan
untuk mengingatkanku kembali dengan kota lama?”
.
Si wanita menghabiskan Latte-nya
dalam satu tenggakan, dan setelahnya ia berdiri dan menyeret tangan si lelaki.
“Tentu. Kau pasti akan terkejut melihatnya.”
.
No comments:
Post a Comment
Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini