Monday 11 July 2016

Senin Pagi Yang Tak Biasa


Dambelu

Hari ini akan ada apa, ya?
Gue harap ada sesuatu yang menghibur hari ini.
Ratu menghembuskan nafas, meyakinkan diri setelah berbicara dengan dirinya sendiri di depan kaca sebuah toko yang dilewati.
Pagi nampaknya sedang ingin berdamai: ia begitu sejuk, namun juga menyelimutinya hingga terasa hangat. Ratu masih berjalan di atas trotoar. Sambil mendengarkan musik dengan earphone-nya, ia juga mengamati sekitar. Nampaknya orang-orang juga merasakan hal yang sama, walau ia melihat satu-dua yang terlihat sibuk dengan ponsel dan arlojinya. Nah, namanya juga hidup, pikirnya terus berjalan. Kadang daun-daun kecil dari pohon di sekitarnya berjatuhan, berterbangan jauh melambai-lambai. Ia jadi teringat film-film drama Korea yang ia tonton jikalau sedang senggang. Pagi yang romantis, pikirnya.
Ketika lagu ke-5 terputar, Ratu tiba di halte. Ah, kenapa hari ini rasanya menyenangkan sekali? benaknya tersenyum-senyum sendiri; melebarkan kedua tangannya di udara lepas. Orang-orang di sekitar halte kadang melirik ke arahnya heran. Kepalanya bergoyang-goyang ke sana-sini dengan kecepatan yang tak biasa. Mereka berpikir, apa hanya anak ini yang bahagia ketika hari Senin tiba?
Bus yang sedang ia tunggu akhirnya muncul. Seketika ia menyadari satu hal: “Benar, namanya juga hidup. Saatnya kembali ngampus.”
***

Tak lama setelah itu, ia tiba di kampusnya, Universitas Indonesia.
Kini sudah mencapai lagu yang ke-20; ia masih memakai earphone, berjalan menuju gerbang kampusnya. Tadi ketika di dalam bus, terdapat seorang wanita seumuran duduk di sebelahnya. Ia bertanya kepada Ratu di mana letak Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM). Yang ditanya mengucapkan maaf karena tak dengar, lalu wanita itu mengulang pertanyaannya. Dengan Pe-Denya Ratu menjawab, “Tenang, nanti saya tunjukin.”
Tak lama setelah itu Ratu berucap, “Ini nih. Turun di sini!”
Si wanita terlihat bingung dengan tempat yang dimaksud. “Nggak di pemberhentian selanjutnya, ya?”
“Nggak-nggak, di sini!” kata Ratu semakin Pe-De. “Buruan, nanti abang supirnya keburu jalan!”
Si wanita turun dan bus pun kembali berjalan. Ratu hanya melihatnya dari kejauhan: wanita itu sudah masuk ke dalam.
Bus itu membawa matanya memandang bermacam-macam di jendela, hingga akhirnya ia melihat sebuah bangunan bertulisan “FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT” di tempat pemberhentian selanjutnya.
***
Bego banget gue. Cewek tadi nyasar nggak, ya? katanya menepuk jidat sambil terus berjalan.
Bodo amat, deh. Udah gede ini.
Matahari semakin naik. Para mahasiswa bermunculan di sana-sini dengan berbagai macam penampilan. Mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling ber-fashion. Ia semakin dekat dengan gerbang kampus. Tetapi kali ini tak ada lagi pohon-pohon yang besar yang memayungi. Matahari dapat menyinarinya kali ini. Ia berhenti sejenak, menutupi kedua matanya dengan salah satu tangannya. Aduh, silau…
“Permisi,” seeorang menutupi, “mau nanya…”
Malaikat… apakah malaikat memang setampan ini?
Apakah malikat itu, memang tidak mempunyai sayap aslinya?
Tetapi, dia begitu bercahaya… Kedua bola matanya… Aura yang mengelilinginya…
Tunggu, tunggu. Apa yang lagi gue lakuin?
Ratu menggeleng-nggelengkan kepala. Kini ia—lumayan—sadar, di depannya terdapat lelaki berbadan tinggi, putih, maskulin—ketampanan yang tak perlu diragukan lagi. Begitu ideal.  Pasti anak Teknik ini, pikir Ratu. Tiba-tiba saja ia menyesal telah memilih jurusan Matematika, para lelaki yang di dalamnya hanya bisa berkutik dengan angka-angka.
Otaknya kini melayang entah kemana. Lelaki itu tersenyum, sama indahnya dengan matahari pagi itu.
“Maaf?” ia kembali bertanya. Kali ini menundukkan tubuh.
“Eh, ya?” mulut Ratu menganga.
“Tadi saya nanya, UPP di mana ya?”
“Di…,” Ratu ingin menjawab—ia yakin sekali bisa menjawab pertanyaan itu. Tetapi entah mengapa ada sesuatu yang menahan tenggorokannya. Ia menolehkan kepala ke sebelah kanan dengan pelan, sangat. Terlihat ada temannya yang berdiri di sampingnya; sama-sama menganga. Sejak kapan dia di samping gue?
Temannya mengedipkan mata seketika, terlihat seperti menyadari akan sesuatu. “Di-di sana!”
“Ya, di sana!” Ratu pun ikutan secara respons, namun entah kenapa tangannya menunjuk ke atas. Kalau saja sanak keluarganya melihat hal ini, pasti mereka seperti melihat anak-anak yang ditanyai: “Siapa yang mau uang lebaraaaaan?” Lagipula, memangnya ada apa di atas sana selain langit-langit?
Lelaki di depan mereka hanya mengerutkan dahi, menoleh ke atas sebentar dan kembali berkata dengan penuh tanda tanya,”Di sana mana, ya?”
Ratu dan temannya kembali bertatap-tatapan. Mereka sama-sama menelan ludah.
“Di sana pokoknya! Udah di sana, susah jelasinnya!” kata Ratu menunjuk ke sembarang arah.
“Iya, pokoknya di sana!” sahut temannya.
Kini lelaki itu hanya bisa menganga sambil menatap mereka berdua secara bergantian. Lalu ia menunduk sopan. “Oh, yaudah, deh. Terima kasih.”
Lelaki itu pun menjauh dari hadapan mereka berdua, dan akhirnya menghilang.
Ratu dan temannya, Ayu, masih saja terdiam di tempatnya. Beberapa orang yang melintas agak khawatir, kalau air liur akan keluar dari mulut mereka.
                 
Setelah lamanya hening melanda di antara mereka berdua, sambil melanjutkan perjalanan ke tujuan semulanya, Ratu pun akhirnya angkat bicara. “Ayu… Ganteng banget ya, cowok tadi…”
“Iya.”
Mereka berdua lalu bertatapan. Ada sesuatu yang bodoh di antara wajah mereka. Atau malah mereka bertanya-tanya, apa memang tampang mereka memang sebodoh ini? Mereka kemudian memiringkan kepala ke kanan, lalu ke kiri. Mereka merasa seperti ada hal yang lucu sebelumnya.
Dan akhirnya mereka pun tertawa lepas, begitu lepas; begitu menggema. Dipertontonkan ditengah-tengah kerumunan para mahasiswa lainnya yang kebetulan lewat, di antara angin sunyi yang juga kebetulan lewat.

No comments:

Post a Comment

Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini