Dambelu
Hari ini akan ada apa, ya?
Gue harap
ada sesuatu yang menghibur hari ini.
Ratu
menghembuskan nafas, meyakinkan diri setelah berbicara dengan dirinya sendiri
di depan kaca sebuah toko yang dilewati.
Pagi
nampaknya sedang ingin berdamai: ia begitu sejuk, namun juga menyelimutinya
hingga terasa hangat. Ratu masih berjalan di atas trotoar. Sambil mendengarkan
musik dengan earphone-nya, ia juga
mengamati sekitar. Nampaknya orang-orang juga merasakan hal yang sama, walau ia
melihat satu-dua yang terlihat sibuk dengan ponsel dan arlojinya. Nah, namanya
juga hidup, pikirnya terus berjalan. Kadang daun-daun kecil dari pohon di
sekitarnya berjatuhan, berterbangan jauh melambai-lambai. Ia jadi teringat
film-film drama Korea yang ia tonton jikalau sedang senggang. Pagi yang
romantis, pikirnya.
Ketika
lagu ke-5 terputar, Ratu tiba di halte. Ah,
kenapa hari ini rasanya menyenangkan sekali? benaknya tersenyum-senyum
sendiri; melebarkan kedua tangannya di udara lepas. Orang-orang di sekitar
halte kadang melirik ke arahnya heran. Kepalanya bergoyang-goyang ke sana-sini
dengan kecepatan yang tak biasa. Mereka berpikir, apa hanya anak ini yang
bahagia ketika hari Senin tiba?
Bus
yang sedang ia tunggu akhirnya muncul. Seketika ia menyadari satu hal: “Benar,
namanya juga hidup. Saatnya kembali ngampus.”
***
Tak
lama setelah itu, ia tiba di kampusnya, Universitas Indonesia.
Kini
sudah mencapai lagu yang ke-20; ia masih memakai earphone, berjalan menuju gerbang kampusnya. Tadi ketika di dalam bus, terdapat seorang wanita seumuran duduk
di sebelahnya. Ia bertanya kepada Ratu di mana letak Fakultas Kesehatan Masyarakat
(FKM). Yang ditanya mengucapkan maaf karena tak dengar, lalu wanita itu
mengulang pertanyaannya. Dengan Pe-Denya Ratu menjawab, “Tenang, nanti saya
tunjukin.”
Tak
lama setelah itu Ratu berucap, “Ini nih. Turun di sini!”
Si
wanita terlihat bingung dengan tempat yang dimaksud. “Nggak di pemberhentian
selanjutnya, ya?”
“Nggak-nggak,
di sini!” kata Ratu semakin Pe-De. “Buruan, nanti abang supirnya keburu jalan!”
Si
wanita turun dan bus pun kembali berjalan. Ratu hanya melihatnya dari kejauhan:
wanita itu sudah masuk ke dalam.
Bus
itu membawa matanya memandang bermacam-macam di jendela, hingga akhirnya ia
melihat sebuah bangunan bertulisan “FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT” di tempat
pemberhentian selanjutnya.
***
Bego banget gue. Cewek tadi nyasar nggak,
ya? katanya menepuk jidat sambil terus berjalan.
Bodo amat, deh. Udah gede ini.
Matahari
semakin naik. Para mahasiswa bermunculan di sana-sini dengan berbagai macam
penampilan. Mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling ber-fashion. Ia semakin dekat dengan gerbang
kampus. Tetapi kali ini tak ada lagi pohon-pohon yang besar yang memayungi. Matahari
dapat menyinarinya kali ini. Ia berhenti sejenak, menutupi kedua matanya dengan
salah satu tangannya. Aduh, silau…
“Permisi,”
seeorang menutupi, “mau nanya…”
Malaikat… apakah malaikat memang setampan
ini?
Apakah malikat itu, memang tidak mempunyai
sayap aslinya?
Tetapi, dia begitu bercahaya… Kedua bola
matanya… Aura yang mengelilinginya…
Tunggu, tunggu. Apa yang lagi gue lakuin?
Ratu
menggeleng-nggelengkan kepala. Kini ia—lumayan—sadar, di depannya terdapat
lelaki berbadan tinggi, putih, maskulin—ketampanan yang tak perlu diragukan
lagi. Begitu ideal. Pasti anak Teknik
ini, pikir Ratu. Tiba-tiba saja ia menyesal telah memilih jurusan Matematika,
para lelaki yang di dalamnya hanya bisa berkutik dengan angka-angka.
Otaknya
kini melayang entah kemana. Lelaki itu tersenyum, sama indahnya dengan matahari
pagi itu.
“Maaf?”
ia kembali bertanya. Kali ini menundukkan tubuh.
“Eh,
ya?” mulut Ratu menganga.
“Tadi
saya nanya, UPP di mana ya?”
“Di…,”
Ratu ingin menjawab—ia yakin sekali bisa menjawab pertanyaan itu. Tetapi entah
mengapa ada sesuatu yang menahan tenggorokannya. Ia menolehkan kepala ke
sebelah kanan dengan pelan, sangat. Terlihat ada temannya yang berdiri di
sampingnya; sama-sama menganga. Sejak
kapan dia di samping gue?
Temannya
mengedipkan mata seketika, terlihat seperti menyadari akan sesuatu. “Di-di
sana!”
“Ya,
di sana!” Ratu pun ikutan secara respons, namun entah kenapa tangannya menunjuk
ke atas. Kalau saja sanak keluarganya melihat hal ini, pasti mereka seperti
melihat anak-anak yang ditanyai: “Siapa yang mau uang lebaraaaaan?” Lagipula, memangnya
ada apa di atas sana selain langit-langit?
Lelaki
di depan mereka hanya mengerutkan dahi, menoleh ke atas sebentar dan kembali
berkata dengan penuh tanda tanya,”Di sana mana, ya?”
Ratu
dan temannya kembali bertatap-tatapan. Mereka sama-sama menelan ludah.
“Di
sana pokoknya! Udah di sana, susah jelasinnya!” kata Ratu menunjuk ke sembarang
arah.
“Iya,
pokoknya di sana!” sahut temannya.
Kini
lelaki itu hanya bisa menganga sambil menatap mereka berdua secara bergantian.
Lalu ia menunduk sopan. “Oh, yaudah, deh. Terima kasih.”
Lelaki
itu pun menjauh dari hadapan mereka berdua, dan akhirnya menghilang.
Ratu
dan temannya, Ayu, masih saja terdiam di tempatnya. Beberapa orang yang
melintas agak khawatir, kalau air liur akan keluar dari mulut mereka.
Setelah
lamanya hening melanda di antara mereka berdua, sambil melanjutkan perjalanan
ke tujuan semulanya, Ratu pun akhirnya angkat bicara. “Ayu… Ganteng banget ya,
cowok tadi…”
“Iya.”
Mereka
berdua lalu bertatapan. Ada sesuatu yang bodoh di antara wajah mereka. Atau
malah mereka bertanya-tanya, apa memang tampang mereka memang sebodoh ini? Mereka
kemudian memiringkan kepala ke kanan, lalu ke kiri. Mereka merasa seperti ada
hal yang lucu sebelumnya.
Dan
akhirnya mereka pun tertawa lepas, begitu lepas; begitu menggema. Dipertontonkan
ditengah-tengah kerumunan para mahasiswa lainnya yang kebetulan lewat, di
antara angin sunyi yang juga kebetulan lewat.
No comments:
Post a Comment
Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini