Thursday 7 July 2016

Percakapan di Sela-Sela Kesempitan

by:
Dambelu R 

Liburan semester telah tiba. Langit pagi tampaknya agak sedikit mendung. Namun aku harus tetap bersiap-siap untuk pindah kos untuk tahun ini.
Semua baju dan barang-barang lainnya sudah kumasukkan dalam koper. Kecuali beberapa buku yang tersisa di dalam lemari yang kusam ini. Satu persatu kumasukkan ke dalam tas yang khusus untuk buku setelah kubaca dalam sekilas. Buku-buku tersebut umumnya membahas tentang keislaman, termasuk buku yang sedang kubaca kali ini. Namun, tidak seperti sebelumnya, aku tidak meletakkan buku itu, melainkan terpaku pada satu bab, yang berjudul “Silaturahim”. Judul yang mengingatkanku pada kejadian beberapa bulan yang lalu, ketika liburan pendek tiba.
Sungguh, aku tidak pernah tahu apa yang Allah rencanakan, hingga membuat diri ini begitu penasaran.

Hal itu dimulai ketika hendak melaksanakan Shalat Idhul ‘adha, ketika posisiku sedang berada di Malang karena masih dalam masa perkuliahan. Kota ini memang terkenal dengan tempat wisatanya, dan juga kesejukannya yang luar biasa ketika matahari telah menampakkan diri. Tetapi entah mengapa, pagi itu terasa lebih menyejukkan dari pada biasanya. Burung-burung pun berkicau dengan merdunya; berterbangan ke sana-sini, menghiasi langit biru menjadi lebih indah. Aku, yang sedang berjalan menuju rumah ibadah, hanya bisa berucap beribu syukur atas segala kenikmataan yang telah Allah berikan.
Aku—dan bersama seorang teman—shalat di salah satu masjid termegah di kota itu, Masjib Jami’. Sebenarnya, saat itu adalah pertama kalinya aku shalat di sana walaupun sudah 1 tahun lamanya tinggal. Jadi tak heran bila aku seperti orang tersesat di dalam, entah itu ketika hendak mengambil air wudhu atau pun mencari tempat yang paling aman untuk meletakkan sandal jepit, bahkan sampai terpisah dengan temanku. Toh, pada akhirnya aku mengambil saf terdepan di lantai 2 dengan penuh percaya diri.
Ternyata, tata pelaksaan shalat di Masjib Jami’ sama dengan kampung halamanku di Jakarta. Sesudah shalat Id, langsung disambut oleh khatbah. Namun, terkadang aku hanya bisa menggaruk-nggaruk kepala; memikirkan setiap kata-kata yang kudengar; menghubungkan satu persatu kata yang sudah kuterjemahkan. Karena Pak Kyai yang sedang berkhatbah hampir sepanjang waktu menggunakan bahasa jawa.
Di tengah-tengah khatbah berlangsung, tiba-tiba saja perutku melilit, mulas bukan main. Aneh. Aku memikirkan apa yang kumakan satu jam yang lalu. Aku tidak makan sambal. Aku tidak makan santan. Aku tidak makan nasi….Ya, aku tidak makan. Hanya meminum susu kotak yang kutemukan semalam….
Aku beranjak dari tempat saf, melewati beberapa orang dengan sopan, lalu turun beberapa anak tangga, dan sial, aku harus mengantere. Di depanku terdapat 3 ruang toilet yang masing-masing ditunggu oleh beberapa orang. Tanpa berpikir panjang, akhirnya kuputuskan untuk mengantere di bagian tengah saja. Mungkin, karena memang tak ada pilihan lagi—faktanya semua sama saja. Duh, aku kebelet.
Akhirnya, giliranku hampir tiba. Aku terus menunggu, sangat sabar. Beberapa menit, lalu terus bertambah jumlahnya. Ternyata orang terakhir yang sedang kutunggu ketagihan di dalam sana. Lama sekali. Ketiduran sambil nyender closet, mungkin? Timbul sedikit rasa menyesal karena memilih bagian tengah. Aku bercucuran keringat dingin. Salah satu tanganku menutupi lubang bagian belakang; kaki tak bisa diam, menari-nari dengan liarnya, tak karuan. Khawatir. Takut ‘keluar’ di tempat yang tak seharusnya.
“Mau buang air besar, dek?” tanya seorang lelaki tiba-tiba. Kira-kira berumur lima puluhan, memakai peci putih, miring pula. Sempat aku ingin menjawab dengan lantang: Iyalah, Bapak nggak lihat saya ini kebelet?
“Iya, Pak.”
“Adek ini kuliah atau—“
“Ku-kuliah, Pak. Di UIN.”
Badanku bergetar makin tak karuan menahannya.
“Semester berapa?”
“Lima, Pak.”
Setiap pertanyaan yang beliau berikan kujawab dengan seramah mungkin, walau sebenarnya kondisinya sedang tidak memungkinkan.
“Oh! Sudah tidak asrama dong, ya? Main kapan-kapan ke tempat bapak!” katanya sangat antusias.
Aku hanya menatapnya bingung.
“Ini… dengan bapak siapa, ya?”
“Oh, ya. Krisna.”
“Saya Rahman.”         
Lalu kami berjabat tangan. Dalam hati, aku berkata, “Jangan dicium ya, Pak.
“Sekarang saya tinggal di kos dekat pesanteren Alphadoli. Dekat sekali dari perempatan tong Merjosari,” kataku. Lumayanlah dapat obrolan, daripada nunggu kebelet keluar.
“Wah! Kamu tahu sardo berarti kan?”
Aku hanya mengangguk.
“Rumah saya dekat dari situ, di belakangnya,” lanjutnya. “Jalan Gajayana gang 5 No. 608.”
“Wah! Berarti memang dekat, ya?! Saya sering melewati sardo, loh, Pak!” responsku antusias. Padahal aku sudah tidak bisa menahan rasa mulas yang hampir klimaks ini. Argh…. Aku hanya bisa menggigit bibir.
“Main sekali-kali ke rumah kalo sempat, ya!” katanya. “Karena sekarang kita sudah bertemu dan saling kenal, maka sangat disayangkan jika tali silahturahim putus begitu saja dengan mudahnya.
“Allah saja sangat tidak suka dengan yang namanya memutuskan silahturahim.” Dia lalu mengucapkan sebuah ayat Qur’an, begitu fasih dan lembut. “Yang artinya: Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihutungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk—Jahanam. Surah ar-Ra’ad ayat 25.”
Mendengar kata-kata itu, entah mengapa hatiku kini yang bergetar tak karuan, meski membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencernanya.
“Bahkan Nabi kita SAW. menegaskan,” lanjutnya. “Tidak akan masuk syurga orang yang memutuskan hubungan silaturahmi.”
Aku hanya mengangguk, sebagai pertimbangan bahwa aku seorang pendengar yang baik. Pintu di depanku terbuka. Orang yang kuharapkan agar cepat keluar dari toilet itu akhirnya muncul juga.
“Pak, permisi, aku masuk dulu. Makasih, loh, Pak! Kapan-kapan saya main, deh, nanti kalau ada waktu.”
“Ya—ya. Saya tunggu. Sukses ya.”
Aku masuk ke toilet, dan akhirnya, perutku merasa plong. Sambil berjongkok, biasanya aku memikirkan sesuatu. Namun, kala itu perkataan bapak tadi yang terbayang di benakku.
Silahturahim, ya?
Kututup buku itu, memasukinya ke dalam tas buku yang setelah ditutup rapat-rapat. Namun salah satu tanganku beralih ke dalam saku; mengambil ponsel. Lalu menekan salah satu kontak seorang wanita yang paling kusayangi.
“Halo, Ibu,” kataku setelah terdengar jawaban di seberang sambungan. “Minggu depan aku akan pulang ke Jakarta. Tenang saja, setelah beberapa tahun lamanya, kali ini aku akan main ke tempat kakak. Aku akan main ke tempat paman dan bibi. Aku juga akan mengunjungi beberapa guru dan kawan lamaku. Aku rindu rumah. Rindu kalian. Rindu Ibu."

No comments:

Post a Comment

Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini