by:
Dambelu R
Liburan
semester telah tiba. Langit pagi tampaknya agak sedikit mendung. Namun aku
harus tetap bersiap-siap untuk pindah kos untuk tahun ini.
Semua
baju dan barang-barang lainnya sudah kumasukkan dalam koper. Kecuali beberapa
buku yang tersisa di dalam lemari yang kusam ini. Satu persatu kumasukkan ke
dalam tas yang khusus untuk buku setelah kubaca dalam sekilas. Buku-buku
tersebut umumnya membahas tentang keislaman, termasuk buku yang sedang kubaca
kali ini. Namun, tidak seperti sebelumnya, aku tidak meletakkan buku itu,
melainkan terpaku pada satu bab, yang berjudul “Silaturahim”. Judul yang
mengingatkanku pada kejadian beberapa bulan yang lalu, ketika liburan pendek
tiba.
Sungguh,
aku tidak pernah tahu apa yang Allah rencanakan, hingga membuat diri ini begitu
penasaran.
Hal
itu dimulai ketika hendak melaksanakan Shalat Idhul ‘adha, ketika posisiku
sedang berada di Malang karena masih dalam masa perkuliahan. Kota ini memang
terkenal dengan tempat wisatanya, dan juga kesejukannya yang luar biasa ketika
matahari telah menampakkan diri. Tetapi entah mengapa, pagi itu terasa lebih
menyejukkan dari pada biasanya. Burung-burung pun berkicau dengan merdunya;
berterbangan ke sana-sini, menghiasi langit biru menjadi lebih indah. Aku, yang
sedang berjalan menuju rumah ibadah, hanya bisa berucap beribu syukur atas segala
kenikmataan yang telah Allah berikan.
Aku—dan
bersama seorang teman—shalat di salah satu masjid termegah di kota itu, Masjib
Jami’. Sebenarnya, saat itu adalah pertama kalinya aku shalat di sana walaupun
sudah 1 tahun lamanya tinggal. Jadi tak heran bila aku seperti orang tersesat
di dalam, entah itu ketika hendak mengambil air wudhu atau pun mencari tempat
yang paling aman untuk meletakkan sandal jepit, bahkan sampai terpisah dengan
temanku. Toh, pada akhirnya aku mengambil saf terdepan di lantai 2 dengan penuh
percaya diri.
Ternyata,
tata pelaksaan shalat di Masjib Jami’ sama dengan kampung halamanku di Jakarta.
Sesudah shalat Id, langsung disambut oleh khatbah. Namun, terkadang aku hanya
bisa menggaruk-nggaruk kepala; memikirkan setiap kata-kata yang kudengar;
menghubungkan satu persatu kata yang sudah kuterjemahkan. Karena Pak Kyai yang
sedang berkhatbah hampir sepanjang waktu menggunakan bahasa jawa.
Di
tengah-tengah khatbah berlangsung, tiba-tiba saja perutku melilit, mulas bukan
main. Aneh. Aku memikirkan apa yang kumakan satu jam yang lalu. Aku tidak makan
sambal. Aku tidak makan santan. Aku tidak makan nasi….Ya, aku tidak makan.
Hanya meminum susu kotak yang kutemukan semalam….
Aku
beranjak dari tempat saf, melewati beberapa orang dengan sopan, lalu turun
beberapa anak tangga, dan sial, aku harus mengantere. Di depanku terdapat 3
ruang toilet yang masing-masing ditunggu oleh beberapa orang. Tanpa berpikir
panjang, akhirnya kuputuskan untuk mengantere di bagian tengah saja. Mungkin,
karena memang tak ada pilihan lagi—faktanya semua sama saja. Duh, aku kebelet.
Akhirnya,
giliranku hampir tiba. Aku terus menunggu, sangat sabar. Beberapa menit, lalu
terus bertambah jumlahnya. Ternyata orang terakhir yang sedang kutunggu ketagihan
di dalam sana. Lama sekali. Ketiduran sambil nyender closet, mungkin? Timbul sedikit rasa menyesal karena memilih bagian
tengah. Aku bercucuran keringat dingin. Salah satu tanganku menutupi lubang
bagian belakang; kaki tak bisa diam, menari-nari dengan liarnya, tak karuan. Khawatir.
Takut ‘keluar’ di tempat yang tak seharusnya.
“Mau
buang air besar, dek?” tanya seorang lelaki tiba-tiba. Kira-kira berumur lima
puluhan, memakai peci putih, miring pula. Sempat aku ingin menjawab dengan
lantang: Iyalah, Bapak nggak lihat saya
ini kebelet?
“Iya,
Pak.”
“Adek
ini kuliah atau—“
“Ku-kuliah,
Pak. Di UIN.”
Badanku
bergetar makin tak karuan menahannya.
“Semester
berapa?”
“Lima,
Pak.”
Setiap
pertanyaan yang beliau berikan kujawab dengan seramah mungkin, walau sebenarnya
kondisinya sedang tidak memungkinkan.
“Oh!
Sudah tidak asrama dong, ya? Main kapan-kapan ke tempat bapak!” katanya sangat
antusias.
Aku
hanya menatapnya bingung.
“Ini…
dengan bapak siapa, ya?”
“Oh,
ya. Krisna.”
“Saya
Rahman.”
Lalu
kami berjabat tangan. Dalam hati, aku berkata, “Jangan dicium ya, Pak.”
“Sekarang
saya tinggal di kos dekat pesanteren Alphadoli. Dekat sekali dari perempatan
tong Merjosari,” kataku. Lumayanlah dapat obrolan, daripada nunggu kebelet
keluar.
“Wah!
Kamu tahu sardo berarti kan?”
Aku
hanya mengangguk.
“Rumah
saya dekat dari situ, di belakangnya,” lanjutnya. “Jalan Gajayana gang 5 No.
608.”
“Wah!
Berarti memang dekat, ya?! Saya sering melewati sardo, loh, Pak!” responsku
antusias. Padahal aku sudah tidak bisa menahan rasa mulas yang hampir klimaks
ini. Argh…. Aku hanya bisa menggigit
bibir.
“Main
sekali-kali ke rumah kalo sempat, ya!” katanya. “Karena sekarang kita sudah
bertemu dan saling kenal, maka sangat disayangkan jika tali silahturahim putus
begitu saja dengan mudahnya.
“Allah
saja sangat tidak suka dengan yang namanya memutuskan silahturahim.” Dia lalu
mengucapkan sebuah ayat Qur’an, begitu fasih dan lembut. “Yang artinya:
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan
memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihutungkan dan mengadakan
kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka
tempat kediaman yang buruk—Jahanam. Surah ar-Ra’ad ayat 25.”
Mendengar
kata-kata itu, entah mengapa hatiku kini yang bergetar tak karuan, meski
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencernanya.
“Bahkan
Nabi kita SAW. menegaskan,” lanjutnya. “Tidak akan masuk syurga orang yang
memutuskan hubungan silaturahmi.”
Aku
hanya mengangguk, sebagai pertimbangan bahwa aku seorang pendengar yang baik.
Pintu di depanku terbuka. Orang yang kuharapkan agar cepat keluar dari toilet
itu akhirnya muncul juga.
“Pak,
permisi, aku masuk dulu. Makasih, loh, Pak! Kapan-kapan saya main, deh, nanti
kalau ada waktu.”
“Ya—ya.
Saya tunggu. Sukses ya.”
Aku
masuk ke toilet, dan akhirnya, perutku merasa plong. Sambil berjongkok, biasanya aku memikirkan sesuatu. Namun,
kala itu perkataan bapak tadi yang terbayang di benakku.
Silahturahim, ya?
Kututup
buku itu, memasukinya ke dalam tas buku yang setelah ditutup rapat-rapat. Namun
salah satu tanganku beralih ke dalam saku; mengambil ponsel. Lalu menekan salah
satu kontak seorang wanita yang paling kusayangi.
“Halo,
Ibu,” kataku setelah terdengar jawaban di seberang sambungan. “Minggu depan aku
akan pulang ke Jakarta. Tenang saja, setelah beberapa tahun lamanya, kali ini
aku akan main ke tempat kakak. Aku akan main ke tempat paman dan bibi. Aku juga
akan mengunjungi beberapa guru dan kawan lamaku. Aku rindu rumah. Rindu kalian.
Rindu Ibu."
No comments:
Post a Comment
Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini