Wednesday, 15 June 2016

Angin di Bulan Desember

by:
Dambelu

Dari kejauhan, seseorang mendekat di antara kerumunan banyak orang.
Rani mematung seketika. Mulutnya beralih membentuk huruf O. Rok abu-abu yang ia kenakan diremas sekuat tenaga. Kini, jantungnya berdetak secepat lelaki tersebut melangkah.
Rani ingin berlari menjauh, tapi entah mengapa dirinya merasa tak sanggup.
Ketika lelaki itu sudah berada di hadapannya, ia seolah tenggelam dalam lautan yang luas nan dangkal. Sesak, kemudian gelap.
Mereka saling menatap. Kemudian kelopak mata Rani mulai pecah dengan air mata.
“Kenapa!?” ucap si lelaki.
Dan untuk yang kedua kalinya, kini suara lantangnya terdengar lebih keras. Di tengah-tengah keramaian, pandangan orang-orang yang sedang berlalu-lalang berpusat pada mereka berdua.
Rani hanya menunduk menahan isak, menutup muka dengan kedua tangan, dan seketika tangisnya menghebat.
“Pato…, maaf,” ucap lirih dari mulut mungilnya. Mungkin terlalu sederhana, tapi Pato yakin Rani mengucapkannya dengan ketulusan hati.
Pato kemudian meraih memeluk tubuhnya. Rani hanya bisa pasrah dalam pelukan yang hangat itu. Kehangatan yang ia inginkan; yang ia rindukan. Ia membalasnya dengan nikmat.
Hingga beberapa saat menikmati suasana, ia menatap langit-langit, lalu berbisik, “Aku hanya takut, bahwa suatu hari nanti kau akan mencintaiku.”
Mendengar perkataannya barusan, Pato merasa kecewa. Ternyata Rani belum juga mengakui keberadaan perasaannya. Padahal tiga tahun sudah mereka menjalani hari-hari bersama.
“Dan kau perlu tahu, bahwa aku sudah terlanjur jatuh hati padamu. Lantas, apa yang salah?”
 “Jelas itu salah,” ujar Rani dengan suara tegasnya yang sudah kembali. “Ketika seseorang mulai mencintai, perasaan itu akan menjadi sebuah kebencian. Dan ketika hal itu terjadi, maka ia akan segera menghilang.”
“Dan kamu,” lanjutnya menjauh dari pelukan, “akan segera lenyap dari kehidupanku.”
Lalu, angin terakhir pada bulan Desember berhembus membekukan suasana.

No comments:

Post a Comment

Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini