Dambelu
Rani
mematung seketika. Mulutnya beralih membentuk huruf O. Rok abu-abu yang ia
kenakan diremas sekuat tenaga. Kini, jantungnya berdetak secepat lelaki
tersebut melangkah.
Rani
ingin berlari menjauh, tapi entah mengapa dirinya merasa tak sanggup.
Ketika
lelaki itu sudah berada di hadapannya, ia seolah tenggelam dalam lautan yang
luas nan dangkal. Sesak, kemudian gelap.
Mereka
saling menatap. Kemudian kelopak mata Rani mulai pecah dengan air mata.
“Kenapa!?”
ucap si lelaki.
Dan
untuk yang kedua kalinya, kini suara lantangnya terdengar lebih keras. Di
tengah-tengah keramaian, pandangan orang-orang yang sedang berlalu-lalang
berpusat pada mereka berdua.
Rani
hanya menunduk menahan isak, menutup muka dengan kedua tangan, dan seketika
tangisnya menghebat.
“Pato…,
maaf,” ucap lirih dari mulut mungilnya. Mungkin terlalu sederhana, tapi Pato
yakin Rani mengucapkannya dengan ketulusan hati.
Pato
kemudian meraih memeluk tubuhnya. Rani hanya bisa pasrah dalam pelukan yang
hangat itu. Kehangatan yang ia inginkan; yang ia rindukan. Ia membalasnya
dengan nikmat.
Hingga
beberapa saat menikmati suasana, ia menatap langit-langit, lalu berbisik, “Aku
hanya takut, bahwa suatu hari nanti kau akan mencintaiku.”
Mendengar
perkataannya barusan, Pato merasa kecewa. Ternyata Rani belum juga mengakui
keberadaan perasaannya. Padahal tiga tahun sudah mereka menjalani hari-hari
bersama.
“Dan
kau perlu tahu, bahwa aku sudah terlanjur jatuh hati padamu. Lantas, apa yang
salah?”
“Jelas itu salah,” ujar Rani dengan suara
tegasnya yang sudah kembali. “Ketika seseorang mulai mencintai, perasaan itu
akan menjadi sebuah kebencian. Dan ketika hal itu terjadi, maka ia akan segera
menghilang.”
“Dan
kamu,” lanjutnya menjauh dari pelukan, “akan segera lenyap dari kehidupanku.”
Lalu, angin terakhir pada bulan Desember
berhembus membekukan suasana.
No comments:
Post a Comment
Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini