Pada
bulan Oktober lalu—tepatnya hari
Sabtu, hujan deras melanda kota kami, Malang, dan kudengar dari televisi sore
itu air turun merambat sampai ke seluruh Jawa. Kami—aku dan suami, Sopyan—yang
sedang duduk santai di sofa sambil menikmati hari akhir pekan dengan tontonan
acak dan mie instan, tiba-tiba dikagetkan oleh geledek yang suaranya luar biasa
meledak. Televisi mati. Kipas mati. Lampu padam. Ruang keluarga menjadi gelap
dan seketika tubuhku dingin dan bulu kuduk merinding. Aku menyambar tubuh Sopyan
secara spontan karena takut, begitu pun dirinya karena tahu aku takut.
Aku
dan Sopyan sudah menjadi sepasang kekasih sejak kami berada di kelas 2 SMA di
Jakarta. Kami kemudian memutuskan untuk masuk ke perguruan tinggi yang sama,
tapi di Malang, sebab kami sama-sama setuju Ibu Kota sudah terasa sumpek dan menyebalkan.
Awal-awal tahun di Malang, kota ini
terasa nyaman dan menyejukkan. Pohon-pohon masih banyak bisa dijumpai. Di pagi
hari sebelum matahari benar-benar terbit, kabut seringkali muncul di jalanan. Jadi,
sayang sekali kalau di waktu tersebut belum bangun tidur. Kalau naik ke kota
Batu sana, lebih asik. Indah. Kami sering kencan di daerah tinggi sana,
terutama daerah Selecta. Bukan tepat di Selectanya, tapi di desa-desa dalam
sana. Kami dimanjakan dengan keindahan macam bunga, wangi tanah yang disiram,
dan tak jarang kami ditawari mencicipi buah-buah yang baru saja matang seperti
stroberi, long murbei, apel, dan
lainnya—aku lupa.
Di sini juga aku merasa Malang
seperti punya dua musim: panas dan dingin. Kami bisa merasakan kota ini panas
sekali di waktu tertentu, dan dingin sekali di waktu tertentu pula. Maka, tak
jarang juga kami dilanda sakit. Mungkin itu karena penyesuaian tubuh terhadap
perubah suhu yang tiba-tiba.
Ketika aku dan suami sudah bekerja
(aku seorang copy writer dan dia
seorang penerjemah), kami pun menikah—karena sudah merasa cukup—dan memutuskan
untuk tetap menetap di Malang. Yang sebelumnya tinggal di kos masing-masing,
menjadi tinggal serumah.
Setahun setelah menikah, kota ini
menjadi tidak seasik dulu. Banyak lahan sawah yang diubah menjadi bangunan
warung kopi dan ruko-ruko untuk dijadikan usaha. Jalanan seringkali macet. Sempat
terpikir olehku, apakah Malang juga akan menyerupai Jakarta?
Setahun setelah menikah, sampai
sekarang aku juga belum dikaruniai anak—Apa yang sedang kupikirkan, sih?
“Barusan
itu apa?” tanyaku yang masih dalam dekapannya.
“Hanya
petir. Tenang, saja.”
“Tapi
listriknya tiba-tiba nggak nyala. Bukannya itu artinya parah?”
Dia
melepaskan pelukanku. “Biar aku periksa dulu.” Dia kemudian berjalan menjauh ke
arah pintu dan tepat ketika suamiku hendak memegang gagang pintu, seseorang
mengetuk pintu.
Sopyan
mengarahkan kerutan dahinya padaku; aku hanya mengedik bahu.
“Selamat
sore.” pemuda itu tersenyum, tapi kutahu dia mengucapkannya sambil menahan
gigil.
“Jihan!
Kenapa diam saja? Cepat ambilkan handuk!” seru Sopyan padaku. Aku tersentak.
Aku bangkit
dari sofa dan pergi ke kamar untuk mengambil handuk. Ketika aku kembali,
kudapati pemuda itu sudah berada di ruangan—di mana aku dan Sopyan berada
sebelumnya—dan duduk di sofa tunggal bersama suamiku yang duduk di sofa sebelah
lain.
“Ini,”
kataku menyerahkan handuk itu padanya, kemudian duduk di samping Sopyan.
“Terima
kasih.” Dia mengeringkan tubuhnya di tempat, di mulai dari rambut, wajah,
tangan, badan dan kemudian kaki.
Dia
pemuda yang cukup tampan jika dibandingkan Sopyan. Mungkin itu karena dia jauh
lebih muda dari suamiku. Hanya perasaanku saja, mungkin.
“Kamu
sudah masak air?”
Aku
menggeleng. “Kenapa?
“Buat bikin teh hangat, dong.”
“Ah, ya.”
Ketika aku baru saja berdiri, Sopyan
menahanku, menyuruhku untuk duduk kembali. “Biar aku saja. Sekalian mau ngambil
baju buat anak ini. Kamu ajak ngobrol dulu.” Dia kemudian melenggang ke
belakang.
Kini, di ruangan itu hanya tinggal
kami berdua.
Pemuda itu tiba-tiba mengeluarkan
suara aneh dan aku melihatnya: apakah dia baru saja menahan tawa? Dia melihatku
dan dugaanku ternyata benar adanya: dia tertawa.
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Aku lebih tampan katamu?” dia lanjut
tertawa. Tidak tertalu kencang, mungkin berjaga-jaga agar suamiku tidak
mendengar di belakang sana. “Yang benar saja.”
Aku membuang muka dan bertanya-tanya
dalam hati. Memangnya aku mengucapkannya tadi? Maksudku, bukankah itu hanyalah
pikiran yang sempat terlintas saja?”
“Tidak-tidak. Kamu tidak benar-benar
mengucapkan itu tadi. Tenang saja.”
“Siapa kamu?” tanyaku, mulai merasa
takut. “Dan jaga sopan satunmu! Aku lebih tua darimu!”
“Jangan salah sangka. Justru aku
jauh lebih tua darimu—jauh sekali. Sebelum bumi ini diciptakan, aku sudah ada,”
katanya menatapku lekat.
Aku melongo, kemudian mataku sering
melihat ke belakang, berharap-harap Sopyan cepat kembali.
“Sopyan masih sibuk.”
“Bagaimana kamu tahu nama suamiku?”
“Tidak sulit,” jawabnya tenang. “Sekarang
suamimu sedang sibuk membetulkan gas. Sengaja aku rusak sebentar, agar kita
bisa berbincang.”
Aku merasa begitu dingin tapi
keringat mengucur ke seluruh tubuh. Sesekali aku menelan ludah entah mengapa.
Aku melihat ke sisi lain, tak kuasa melihat pemuda itu.
“Aku
akan langsung bicara ke intinya,” lanjutnya. “Berhentilah percaya pada
omongan-omongan orang. Diinjak ibu hamil, minum banyak obat batuk padahal kamu
tidak batuk, atau apalah lainnya itu. Semua omong kosong. Kamu terlalu percaya
semua itu sehingga kamu lupa pada apa yang seharusnya kamu percaya.”
“Siapa
kamu sebenarnya?
“Aku
adalah malaikat—yah, kau tidak harus percaya. Tapi percayalah, aku datang ke
sini untuk kebaikan.
“Ini
pertama kalinya aku peduli pada manusia,” lanjutnya. “Kau dengar perkataanku?”
Aku
menoleh menatapnya dan kembali menelan ludah.
Kali
ini aku mungkin benar-benar percaya bahwa dia adalah malaikat, sebab… bagaimana
dia bisa tahu? Demi bisa hamil, aku sudah melakukan apa yang orang-orang
sekitar katakan. Mulai dari minum teh hijau setiap hari, minum obat batuk
bersirup (seperti yang dibilang si Malaikat barusan), bahkan tiga kali dalam
seminggu aku memasak sayur taoge. Tapi nyatanya, sampai sekarang aku belum juga
hamil.
“Kenapa
kamu berkata seperti itu? Setidaknya aku berusaha! Tahu apa kamu!”
“Aku
tidak menyalahkanmu, wahai Jihan. Manusia memang harus berusaha untuk
mendapatkan apa yang mereka inginkan dan dianggap penting. Tapi, manusia tidak
akan bisa mendapatkannya jika mereka tidak percaya dengan apa yang seharusnya
mereka percaya.”
Aku menggelengkan
kepala dan air mata tiba-tiba jatuh ke pipiku. “Aku tidak mengerti.”
“Siapa
tuhanmu?” tanyanya.
“Tidak
ada.”
“Nah,
itu.”
“Itu
kenapa?”
“Kamu
tidak punya tuhan.”
“Kenapa
memangnya kalau tidak punya?”
“Karena
itu berarti kamu tidak percaya dengan apa yang seharusnya kamu percaya.”
“Jadi
aku harus percaya dengan tuhan? Buat apa percaya dengan tuhan jika pada
akhirnya aku menjadi seseorang yang egois dan menjadikan orang-orang yang tidak
satu keyakinan denganku musuh?”
“Pernahkah
kamu bertanya-tanya siapa yang menciptakanmu? Menciptakan bumi dan seluruh
jagat raya ini sebagai tempat di mana kamu hidup? Atau, pernahkah kamu berpikir
siapa yang mempertemukanmu dengan Sopyan? Orang-orang lain di sana boleh saja
menganggap Tuhan mereka berbeda-beda. Tapi, jelas sekali mereka percaya bahwa
mereka diciptakan oleh… oleh Yang Maha Besar.”
“Jika
ada orang yang berkeyakinan akan Tuhan namun perbuatan mereka keji hingga
saling bermusuhan,” lanjutnya, “percayalah, bukan suatu keyakinan yang membuat
hal itu terjadi. Karena setiap keyakinan pasti mengajarkan kebaikan. ”
“Maksudmu,
keyakinan itu adalah agama, kan?”
“Ya.”
“Tapi—“
“Sudah,
percayalah. Waktuku tidak banyak. Suamimu sudah mulai menyeduh teh dan kuyakin
Yang Maha Besar akan mengomeliku setelah apa yang aku lakukan ini.”
Dia
kemudian berdiri, sepertinya hendak pergi.
“Tapi
kenapa kamu melakukan ini kepadaku?”
Dia
sudah berjalan ke pintu dan menoleh sebelum berkata: “Karena kamu menyedihkan.
Kamu terlalu terlena dengan apa yang sedang kamu hadapi di dunia sehingga kamu
lupa dengan yang menciptakanmu padahal Ia-lah yang sangat kamu butuhkan.”
Kemudian
pintu terbuka sendiri dan ia pun keluar. Hujan besar seketika berhenti. Awan
gelap menyingkir dan sinar matahari sore mulai menembus jendela-jendela.
Televisi dan kipas kembali menyala. Lampu kembali berpijar. Sopyan pun datang
sementara pandanganku masih terpaku pada pintu yang masih terbuka.
“Loh,
kemana anak tadi? Loh, hujannya udah berhenti? Memangnya aku terlalu lama di
belakang, ya?”
Aku
mengalihkan pandangan pada wajah suamiku. Mendongak dan tanpa alasan aku
menangis di hadapannya. “Sopyan, haruskah aku sekarang memeluk sebuah agama?”
Dia
tersenyum—dan senyum itu!—seperti setelah aku menerimanya menjadi pacar dan
menjadi istrinya.
No comments:
Post a Comment
Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini