Friday 8 November 2019

Pemuda Di Bulan Oktober



Pada bulan Oktober lalu—tepatnya hari Sabtu, hujan deras melanda kota kami, Malang, dan kudengar dari televisi sore itu air turun merambat sampai ke seluruh Jawa. Kami—aku dan suami, Sopyan—yang sedang duduk santai di sofa sambil menikmati hari akhir pekan dengan tontonan acak dan mie instan, tiba-tiba dikagetkan oleh geledek yang suaranya luar biasa meledak. Televisi mati. Kipas mati. Lampu padam. Ruang keluarga menjadi gelap dan seketika tubuhku dingin dan bulu kuduk merinding. Aku menyambar tubuh Sopyan secara spontan karena takut, begitu pun dirinya karena tahu aku takut.

            Aku dan Sopyan sudah menjadi sepasang kekasih sejak kami berada di kelas 2 SMA di Jakarta. Kami kemudian memutuskan untuk masuk ke perguruan tinggi yang sama, tapi di Malang, sebab kami sama-sama setuju Ibu Kota sudah terasa sumpek dan menyebalkan.
Awal-awal tahun di Malang, kota ini terasa nyaman dan menyejukkan. Pohon-pohon masih banyak bisa dijumpai. Di pagi hari sebelum matahari benar-benar terbit, kabut seringkali muncul di jalanan. Jadi, sayang sekali kalau di waktu tersebut belum bangun tidur. Kalau naik ke kota Batu sana, lebih asik. Indah. Kami sering kencan di daerah tinggi sana, terutama daerah Selecta. Bukan tepat di Selectanya, tapi di desa-desa dalam sana. Kami dimanjakan dengan keindahan macam bunga, wangi tanah yang disiram, dan tak jarang kami ditawari mencicipi buah-buah yang baru saja matang seperti stroberi, long murbei, apel, dan lainnya—aku lupa.
Di sini juga aku merasa Malang seperti punya dua musim: panas dan dingin. Kami bisa merasakan kota ini panas sekali di waktu tertentu, dan dingin sekali di waktu tertentu pula. Maka, tak jarang juga kami dilanda sakit. Mungkin itu karena penyesuaian tubuh terhadap perubah suhu yang tiba-tiba.
Ketika aku dan suami sudah bekerja (aku seorang copy writer dan dia seorang penerjemah), kami pun menikah—karena sudah merasa cukup—dan memutuskan untuk tetap menetap di Malang. Yang sebelumnya tinggal di kos masing-masing, menjadi tinggal serumah.
Setahun setelah menikah, kota ini menjadi tidak seasik dulu. Banyak lahan sawah yang diubah menjadi bangunan warung kopi dan ruko-ruko untuk dijadikan usaha. Jalanan seringkali macet. Sempat terpikir olehku, apakah Malang juga akan menyerupai Jakarta?
Setahun setelah menikah, sampai sekarang aku juga belum dikaruniai anak—Apa yang sedang kupikirkan, sih?
            “Barusan itu apa?” tanyaku yang masih dalam dekapannya.
            “Hanya petir. Tenang, saja.”
            “Tapi listriknya tiba-tiba nggak nyala. Bukannya itu artinya parah?”
          Dia melepaskan pelukanku. “Biar aku periksa dulu.” Dia kemudian berjalan menjauh ke arah pintu dan tepat ketika suamiku hendak memegang gagang pintu, seseorang mengetuk pintu.
            Sopyan mengarahkan kerutan dahinya padaku; aku hanya mengedik bahu.
            “Selamat sore.” pemuda itu tersenyum, tapi kutahu dia mengucapkannya sambil menahan gigil.
            “Jihan! Kenapa diam saja? Cepat ambilkan handuk!” seru Sopyan padaku. Aku tersentak.
            Aku bangkit dari sofa dan pergi ke kamar untuk mengambil handuk. Ketika aku kembali, kudapati pemuda itu sudah berada di ruangan—di mana aku dan Sopyan berada sebelumnya—dan duduk di sofa tunggal bersama suamiku yang duduk di sofa sebelah lain.
            “Ini,” kataku menyerahkan handuk itu padanya, kemudian duduk di samping Sopyan.
            “Terima kasih.” Dia mengeringkan tubuhnya di tempat, di mulai dari rambut, wajah, tangan, badan dan kemudian kaki.
            Dia pemuda yang cukup tampan jika dibandingkan Sopyan. Mungkin itu karena dia jauh lebih muda dari suamiku. Hanya perasaanku saja, mungkin.
            “Kamu sudah masak air?”
            Aku menggeleng. “Kenapa?
“Buat bikin teh hangat, dong.”
“Ah, ya.”
Ketika aku baru saja berdiri, Sopyan menahanku, menyuruhku untuk duduk kembali. “Biar aku saja. Sekalian mau ngambil baju buat anak ini. Kamu ajak ngobrol dulu.” Dia kemudian melenggang ke belakang.
Kini, di ruangan itu hanya tinggal kami berdua.
Pemuda itu tiba-tiba mengeluarkan suara aneh dan aku melihatnya: apakah dia baru saja menahan tawa? Dia melihatku dan dugaanku ternyata benar adanya: dia tertawa.
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Aku lebih tampan katamu?” dia lanjut tertawa. Tidak tertalu kencang, mungkin berjaga-jaga agar suamiku tidak mendengar di belakang sana. “Yang benar saja.”
Aku membuang muka dan bertanya-tanya dalam hati. Memangnya aku mengucapkannya tadi? Maksudku, bukankah itu hanyalah pikiran yang sempat terlintas saja?”
“Tidak-tidak. Kamu tidak benar-benar mengucapkan itu tadi. Tenang saja.”
“Siapa kamu?” tanyaku, mulai merasa takut. “Dan jaga sopan satunmu! Aku lebih tua darimu!”
“Jangan salah sangka. Justru aku jauh lebih tua darimu—jauh sekali. Sebelum bumi ini diciptakan, aku sudah ada,” katanya menatapku lekat.
Aku melongo, kemudian mataku sering melihat ke belakang, berharap-harap Sopyan cepat kembali.
“Sopyan masih sibuk.”
“Bagaimana kamu tahu nama suamiku?”
“Tidak sulit,” jawabnya tenang. “Sekarang suamimu sedang sibuk membetulkan gas. Sengaja aku rusak sebentar, agar kita bisa berbincang.”
Aku merasa begitu dingin tapi keringat mengucur ke seluruh tubuh. Sesekali aku menelan ludah entah mengapa. Aku melihat ke sisi lain, tak kuasa melihat pemuda itu.
          “Aku akan langsung bicara ke intinya,” lanjutnya. “Berhentilah percaya pada omongan-omongan orang. Diinjak ibu hamil, minum banyak obat batuk padahal kamu tidak batuk, atau apalah lainnya itu. Semua omong kosong. Kamu terlalu percaya semua itu sehingga kamu lupa pada apa yang seharusnya kamu percaya.”
            “Siapa kamu sebenarnya?
          “Aku adalah malaikat—yah, kau tidak harus percaya. Tapi percayalah, aku datang ke sini untuk kebaikan.
        “Ini pertama kalinya aku peduli pada manusia,” lanjutnya. “Kau dengar perkataanku?”
            Aku menoleh menatapnya dan kembali menelan ludah.
          Kali ini aku mungkin benar-benar percaya bahwa dia adalah malaikat, sebab… bagaimana dia bisa tahu? Demi bisa hamil, aku sudah melakukan apa yang orang-orang sekitar katakan. Mulai dari minum teh hijau setiap hari, minum obat batuk bersirup (seperti yang dibilang si Malaikat barusan), bahkan tiga kali dalam seminggu aku memasak sayur taoge. Tapi nyatanya, sampai sekarang aku belum juga hamil.
            “Kenapa kamu berkata seperti itu? Setidaknya aku berusaha! Tahu apa kamu!”
         “Aku tidak menyalahkanmu, wahai Jihan. Manusia memang harus berusaha untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dan dianggap penting. Tapi, manusia tidak akan bisa mendapatkannya jika mereka tidak percaya dengan apa yang seharusnya mereka percaya.”
            Aku menggelengkan kepala dan air mata tiba-tiba jatuh ke pipiku. “Aku tidak mengerti.”
            “Siapa tuhanmu?” tanyanya.
            “Tidak ada.”
            “Nah, itu.”
            “Itu kenapa?”
            “Kamu tidak punya tuhan.”
            “Kenapa memangnya kalau tidak punya?”
       “Karena itu berarti kamu tidak percaya dengan apa yang seharusnya kamu percaya.”
          “Jadi aku harus percaya dengan tuhan? Buat apa percaya dengan tuhan jika pada akhirnya aku menjadi seseorang yang egois dan menjadikan orang-orang yang tidak satu keyakinan denganku musuh?”
        “Pernahkah kamu bertanya-tanya siapa yang menciptakanmu? Menciptakan bumi dan seluruh jagat raya ini sebagai tempat di mana kamu hidup? Atau, pernahkah kamu berpikir siapa yang mempertemukanmu dengan Sopyan? Orang-orang lain di sana boleh saja menganggap Tuhan mereka berbeda-beda. Tapi, jelas sekali mereka percaya bahwa mereka diciptakan oleh… oleh Yang Maha Besar.”
            “Jika ada orang yang berkeyakinan akan Tuhan namun perbuatan mereka keji hingga saling bermusuhan,” lanjutnya, “percayalah, bukan suatu keyakinan yang membuat hal itu terjadi. Karena setiap keyakinan pasti mengajarkan kebaikan. ”
            “Maksudmu, keyakinan itu adalah agama, kan?”
            “Ya.”
            “Tapi—“
            “Sudah, percayalah. Waktuku tidak banyak. Suamimu sudah mulai menyeduh teh dan kuyakin Yang Maha Besar akan mengomeliku setelah apa yang aku lakukan ini.”
            Dia kemudian berdiri, sepertinya hendak pergi.
            “Tapi kenapa kamu melakukan ini kepadaku?”
       Dia sudah berjalan ke pintu dan menoleh sebelum berkata: “Karena kamu menyedihkan. Kamu terlalu terlena dengan apa yang sedang kamu hadapi di dunia sehingga kamu lupa dengan yang menciptakanmu padahal Ia-lah yang sangat kamu butuhkan.”
         Kemudian pintu terbuka sendiri dan ia pun keluar. Hujan besar seketika berhenti. Awan gelap menyingkir dan sinar matahari sore mulai menembus jendela-jendela. Televisi dan kipas kembali menyala. Lampu kembali berpijar. Sopyan pun datang sementara pandanganku masih terpaku pada pintu yang masih terbuka.
       “Loh, kemana anak tadi? Loh, hujannya udah berhenti? Memangnya aku terlalu lama di belakang, ya?”
      Aku mengalihkan pandangan pada wajah suamiku. Mendongak dan tanpa alasan aku menangis di hadapannya. “Sopyan, haruskah aku sekarang memeluk sebuah agama?”
         Dia tersenyum—dan senyum itu!—seperti setelah aku menerimanya menjadi pacar dan menjadi istrinya.

No comments:

Post a Comment

Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini