Saturday 9 November 2019

A Man and His Book



Sejak selesai direnovasi, aku mulai suka mengunjungi perpustakaan kampus, terutama lantai satu. Suasananya menjadi lebih tentram dan menyenangkan. Dinding-dinding bukan lagi berupa satu warna yang membosankan. Kini di satu sisi terdapat warna-warni seperti berupa puzzle, di sisi lain ada juga gravity tulisan berbahasa Thailand—dan aku pernah bertanya-tanya bagaimana bacanya, dan benda-benda hias berbahan dasar kayu yang digantung maupun ditempel di sisi lain. Jumlah meja dan bangku juga lebih banyak dari yang sudah-sudah. Penataan seakan telah disulap menjadi luar biasa rapih dan enak dipandang. Di bagian tertentu, disediakan juga tempat lesehan. Kalau boleh kubilang, pertama kali melihat tempat ini, kukira akan dijadikan kafe atau semacamnya. Ternyata, aku keliru. Malahan tidak ada mahasiswa atau mahasiswi yang boleh membawa makanan dan minuman sejak memasuki pintu masuk. Sayang sekali.
       Kalau bukan karena salah satu tugas kuliah yang membutuhkan referensi buku, mungkin aku tidak akan pernah datang ke perpustakaan kampus. Mungkin aku juga tidak akan pernah menemukan tempat yang nyaman untuk hanya sekadar nongkrong dan menyendiri selain kedai-kedai di luar sana yang diharuskan membeli sesuatu. Mungkin, aku juga tidak akan pernah bertemu dengan lelaki yang selalu duduk di tempat yang sama, yang selalu ditemani buku pada genggamannya.
     Aku telah memperhatikannya beberapa hari terkahir ini. Seolah-olah buku yang dibawanya adalah sesuatu yang hidup. Yang bisa diajak bicara dan mendengarkan. Yang bisa diajak bersedih dan bersenang-senang. Yang bisa diajak berdebat dan berdiskusi mengenai sesuatu. Bahkan, ia bisa marah dengan bukunya sendiri.
        Pada awalnya, di tempat ini aku hanya ingin duduk dan menikmati waktu sendiri dengan playlist lagu di telingaku. Boleh dibilang mengambil kesempatan untuk mengambil napas sejenak dari perkuliahku yang hampir penuh seharian. Namun, ketika memperhatikannya—dan entah kenapa aku selalu memperhatikannya—pikiran dan perasaanku menjadi gelisah. Dia sendiri tapi seolah-olah tidak sendiri. Begitu hidup. Entahlah. Maksudku, kenapa harus dengan benda mati? Kenapa tidak denganku, misalnya? Yang jelas-jelas sesama manusia dan juga sendiri?
   Suatu waktu, aku sudah tidak bisa menahan rasa penasaranku. Ketika aku tengah memperhatikannya, matanya menangkapku dan dia tiba-tiba menjadi salah tingkah. Diam tak berkutit dan menundukkan kepala, membuat wajahnya tidak terlihat selain hidungnya yang sering ia main-mainkan. Aku beranjak dari kursiku, berjalan mendekat ke mejanya dan duduk di sana, berhadapan.
            “Hai, aku Nadia.”
            Dalam beberapa saat dia tak mengacuhkan kebaradaanku. Namun pada akhirnya dia menyapa balik. “Hai.”
“Ganggu, nggak?”
            “Lumayan.” Ia menatapku sekilas. Aku tertawa sebentar. “Kamu lucu,” kataku dan aku tidak bohong. Wajahnya ketika mengucapkan kata itu membuat perutku geli.
            “Aku serius. Bisa cari meja lain?”
            “Nggak bisa,” jawabku tersenyum jahil. “Kenalan, dong. Nama kamu siapa?”
            Tatapannya tidak enak dipandang tapi aku sungguh tidak peduli. Ia mengembuskan napas dan sepertinya menyerah begitu saja. “Arfi,” katanya lalu menutup buku.
            “Kamu lagi baca apa tadi?”
            “Novel.”
       Aku memandang buku itu beberapa lama. Sampulnya terdapat gambar seorang wanita berpakaian dan berambut serba hitam, membuang badan seolah sedang memunggungi siapa saja yang hendak membaca buku itu. Sad Girls, begitu di sana tertulis, dan aku berpikir mungkin itulah alasan wanita di sampul itu tidak ingin memperlihatkan wajahnya.
            “Kayaknya bukan novel biasa, ya?”
            “Mungkin. Aku seorang yang pemilih kalau mau baca sebuah novel. Tidak semua novel aku baca.”
            “Kenapa?”
            “Karena tidak semua novel bagus. Itu pendapat subjektif, sih,” jawabnya. “Anggap aja tidak semua novel bisa membuatku tertarik untuk membacanya.” Cepat-cepat ia mengoreksi.
            “Darimana kamu tahu kalau buku itu menarik atau bagus? Maksudku, novel. Kalau aku, kemungkinan besar dari sampulnya. Misalnya dari sampul novelmu itu,” kataku menunjuk pada benda yang kumaksud, “Berdasarkan judulnya, aku penasaran kenapa dan bagaimana wanita itu bersedih. Ilustrasi sederhana: seorang wanita dengan hitam secara menyeluruh—kecuali wajahnya, membalikkan badan seperti tidak ingin menunjukkan sisi itu—walau tentu saja semua orang tetap dapat melihatnya. Iya nggak, sih? Itu membuatku tertarik untuk membaca ceritanya.”
            “Mungkin maksudmu sampul yang bermakna, bukan yang menarik.”
          Aku menatap langit-langit, berpikir. “Ya, mungkin, sih. Pokok judul dan ilustrasi sebuah novel menentukan aku akan menyentuh buku itu atau tidak kalau dipikir-pikir.”
          “Yang menarik belum tentu bermakna. Yang bermakna belum tentu menarik. Ada novel yang bersampul indah warna-warni dengan desian yang waw, tapi sebenarnya tidak bermakna apapun. Ada sampul yang sangat sederhana tapi ternyata mempunyai makna yang sangat dalam. Ada yang memiliki keduanya, dan itu sangat mungkin,” jelasnya dengan sangat hati-hati. “Judul juga begitu. Dan lagi-lagi, untuk menentukan apakah menarik ataupun bermakna, itu sangat subjektif. Semua tergantung pembaca.”
            “Namanya pendapat memang kemungkinan subjektif. Jangankan sampul dan judul, masing-masing pembaca bahkan mempunyai isi kepala yang berbeda terhadap isi suatu buku setelah dibaca.” Entah kenapa kata-kata itu melesat begitu saja.
            The death of the author.
            “Apa? Siapa yang mati?”
            Dia kemudian tertawa padahal aku tidak menemukan bagian yang lucu. Anehnya entah kenapa aku juga ikut tertawa. Mungkin, karena tertawa itu menular. Seperti halnya menguap. Seperti halnya menyanyikan lagu yang orang lain nyanyikan. Begitulah, aku pernah membacanya sebuah artikel macam itu di internet.
            “Jadi, kenapa kamu tiba-tiba ke mejaku?” tanyanya kemudian. “Maaf tadi udah agak kasar ngusir-ngusir segala.”
            “Nggak apa-apa,” jawabku. “Akhir-akhir ini aku nggak tahu kenapa lihat kamu terus, dan aku penasaran.”
            “Oh, ya? Maaf aku nggak terlalu perhatiin sekitar. Penasaran gimana?”
            “Kamu di sini seorang sendiri. Tapi kamu begitu hidup, dan itu pun gara-gara sebuah buku. Sorry, novel.”
            “Yah, novel sudah kujadikan seperti sahabat sejak dulu.”
            “Oh, ya? Kok bisa?”
            “Novel memperkenalkanku pada dunia yang baru. Dunia yang belum pernah kutemui sepenuhnya, bahkan belum sama sekali. Novel memperkenalkanku tempat-tempat yang sangat indah, biasa saja, bahkan sampai yang sangat menyeramkan sekali pun. Novel juga memperkenalkankku orang-orang baru, dengan kepribadian-kepribadian yang beragam tentunya.
         “Seperti sebuah perjalanan. Seakan aku sedang diajak berpetualang. Bagaimana menurutmu?” lanjutnya bertanya.
            Keren banget!
            “Bisa dimengerti.”
            “Novel juga mempunyai sifat berbagi terhadap pembacanya—terutama aku sendiri. Novel berbagi rasa takut, sedih, senang, dan lainnya disepanjang perjalanan. Maksudku, disepanjang aku membaca novel. Sudah sering aku ikut terbawa emosi ketika membaca. Kadang aku berpikir, kok aku mirip ibuku ketika nonton sinetron di tv, ya? Ribet sendiri begitu intinya. Paham?”
            Aku mengangguk. “Makanya aku sering lihat kamu senyum-senyum sendiri. Kadang nampak kecewa. Suka komat-kamit, kadang seperti mengomeli sesuatu dengan bahasa lain. Kayak tadi.”
            “Aduh.” Dia menunduk kepala.
            “Nggak usah malu. Kenapa juga? Justru aku iri sama kamu. Punya dunia sendiri yang bisa membuat orang lain terheran-heran.”
            Dia tertawa tidak percaya. “Kamu juga bisa, kok.”
            “Boleh minta nomor WA kamu?” tanyaku tiba-tiba.
            Alisnya mengerut. “Buat?”
        “Mau minjem novelmu itu. Sad Girls. Kan aku udah bilang tadi tertarik dan penasaran mau baca,” ucapku. “Sepertinya otakku mau ngintip dunia lain sedikit-sedikit.  Boleh, kan”
            “Oh.” Dia meminta gawaiku dan mengetik nomornya di sana. “Mungkin nanti ketika kamu juga sudah kelar membaca buku ini,” katanya masih sibuk dengan gawaiku, “kita juga bisa bertukar pikiran. Katamu isi kepala masing-masing pembaca mengenai buku bisa berbeda, kan?”
            “Ya,” kataku dan dia menyerahkan gawaiku. “Pokoknya nanti aku bakal sering-sering nagih.”
            “Terserah. Aku bakal lama balasnya nanti, maaf-maaf aja, nih.”
            Aku tersenyum dan berterima kasih. “Mungkin aku bisa minjem novelmu yang lain dulu?” tanyaku.
Yeah, aku tak mau percakapan kami berakhir.

No comments:

Post a Comment

Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini