Sejak selesai
direnovasi, aku mulai suka mengunjungi perpustakaan kampus, terutama lantai
satu. Suasananya menjadi lebih tentram dan menyenangkan. Dinding-dinding bukan
lagi berupa satu warna yang membosankan. Kini di satu sisi terdapat warna-warni
seperti berupa puzzle, di sisi lain ada
juga gravity tulisan berbahasa
Thailand—dan aku pernah bertanya-tanya bagaimana bacanya, dan benda-benda hias berbahan
dasar kayu yang digantung maupun ditempel di sisi lain. Jumlah meja dan bangku
juga lebih banyak dari yang sudah-sudah. Penataan seakan telah disulap menjadi luar
biasa rapih dan enak dipandang. Di bagian tertentu, disediakan juga tempat
lesehan. Kalau boleh kubilang, pertama kali melihat tempat ini, kukira akan
dijadikan kafe atau semacamnya. Ternyata, aku keliru. Malahan tidak ada
mahasiswa atau mahasiswi yang boleh membawa makanan dan minuman sejak memasuki
pintu masuk. Sayang sekali.
Kalau bukan karena salah satu tugas
kuliah yang membutuhkan referensi buku, mungkin aku tidak akan pernah datang ke
perpustakaan kampus. Mungkin aku juga tidak akan pernah menemukan tempat yang
nyaman untuk hanya sekadar nongkrong dan menyendiri selain kedai-kedai di luar
sana yang diharuskan membeli sesuatu. Mungkin, aku juga tidak akan pernah
bertemu dengan lelaki yang selalu duduk di tempat yang sama, yang selalu
ditemani buku pada genggamannya.
Aku telah memperhatikannya beberapa
hari terkahir ini. Seolah-olah buku yang dibawanya adalah sesuatu yang hidup.
Yang bisa diajak bicara dan mendengarkan. Yang bisa diajak bersedih dan
bersenang-senang. Yang bisa diajak berdebat dan berdiskusi mengenai sesuatu.
Bahkan, ia bisa marah dengan bukunya sendiri.
Pada awalnya, di tempat ini aku
hanya ingin duduk dan menikmati waktu sendiri dengan playlist lagu di telingaku. Boleh dibilang mengambil kesempatan
untuk mengambil napas sejenak dari perkuliahku yang hampir penuh seharian.
Namun, ketika memperhatikannya—dan entah kenapa aku selalu memperhatikannya—pikiran
dan perasaanku menjadi gelisah. Dia sendiri tapi seolah-olah tidak sendiri.
Begitu hidup. Entahlah. Maksudku, kenapa harus dengan benda mati? Kenapa tidak
denganku, misalnya? Yang jelas-jelas sesama manusia dan juga sendiri?
Suatu waktu, aku sudah tidak bisa
menahan rasa penasaranku. Ketika aku tengah memperhatikannya, matanya
menangkapku dan dia tiba-tiba menjadi salah tingkah. Diam tak berkutit dan
menundukkan kepala, membuat wajahnya tidak terlihat selain hidungnya yang
sering ia main-mainkan. Aku beranjak dari kursiku, berjalan mendekat ke mejanya
dan duduk di sana, berhadapan.
“Hai, aku Nadia.”
Dalam beberapa saat dia tak mengacuhkan
kebaradaanku. Namun pada akhirnya dia menyapa balik. “Hai.”
“Ganggu,
nggak?”
“Lumayan.” Ia menatapku sekilas. Aku
tertawa sebentar. “Kamu lucu,” kataku dan aku tidak bohong. Wajahnya ketika
mengucapkan kata itu membuat perutku geli.
“Aku serius. Bisa cari meja lain?”
“Nggak bisa,” jawabku tersenyum
jahil. “Kenalan, dong. Nama kamu siapa?”
Tatapannya tidak enak dipandang tapi
aku sungguh tidak peduli. Ia mengembuskan napas dan sepertinya menyerah begitu
saja. “Arfi,” katanya lalu menutup buku.
“Kamu lagi baca apa tadi?”
“Novel.”
Aku memandang buku itu beberapa
lama. Sampulnya terdapat gambar seorang wanita berpakaian dan berambut serba
hitam, membuang badan seolah sedang memunggungi siapa saja yang hendak membaca
buku itu. Sad Girls, begitu di sana
tertulis, dan aku berpikir mungkin itulah alasan wanita di sampul itu tidak
ingin memperlihatkan wajahnya.
“Kayaknya bukan novel biasa, ya?”
“Mungkin. Aku seorang yang pemilih kalau
mau baca sebuah novel. Tidak semua novel aku baca.”
“Kenapa?”
“Karena tidak semua novel bagus. Itu
pendapat subjektif, sih,” jawabnya. “Anggap aja tidak semua novel bisa
membuatku tertarik untuk membacanya.” Cepat-cepat ia mengoreksi.
“Darimana kamu tahu kalau buku itu
menarik atau bagus? Maksudku, novel. Kalau aku, kemungkinan besar dari
sampulnya. Misalnya dari sampul novelmu itu,” kataku menunjuk pada benda yang
kumaksud, “Berdasarkan judulnya, aku penasaran kenapa dan bagaimana wanita itu
bersedih. Ilustrasi sederhana: seorang wanita dengan hitam secara menyeluruh—kecuali
wajahnya, membalikkan badan seperti tidak ingin menunjukkan sisi itu—walau
tentu saja semua orang tetap dapat melihatnya. Iya nggak, sih? Itu membuatku
tertarik untuk membaca ceritanya.”
“Mungkin maksudmu sampul yang
bermakna, bukan yang menarik.”
Aku menatap langit-langit, berpikir.
“Ya, mungkin, sih. Pokok judul dan ilustrasi sebuah novel menentukan aku akan
menyentuh buku itu atau tidak kalau dipikir-pikir.”
“Yang menarik belum tentu bermakna.
Yang bermakna belum tentu menarik. Ada novel yang bersampul indah warna-warni
dengan desian yang waw, tapi sebenarnya tidak bermakna apapun. Ada sampul yang
sangat sederhana tapi ternyata mempunyai makna yang sangat dalam. Ada yang
memiliki keduanya, dan itu sangat mungkin,” jelasnya dengan sangat hati-hati. “Judul
juga begitu. Dan lagi-lagi, untuk menentukan apakah menarik ataupun bermakna, itu
sangat subjektif. Semua tergantung pembaca.”
“Namanya pendapat memang kemungkinan
subjektif. Jangankan sampul dan judul, masing-masing pembaca bahkan mempunyai
isi kepala yang berbeda terhadap isi suatu buku setelah dibaca.” Entah kenapa
kata-kata itu melesat begitu saja.
“The
death of the author.”
“Apa? Siapa yang mati?”
Dia kemudian tertawa padahal aku
tidak menemukan bagian yang lucu. Anehnya entah kenapa aku juga ikut tertawa. Mungkin,
karena tertawa itu menular. Seperti halnya menguap. Seperti halnya menyanyikan
lagu yang orang lain nyanyikan. Begitulah, aku pernah membacanya sebuah artikel
macam itu di internet.
“Jadi, kenapa kamu tiba-tiba ke
mejaku?” tanyanya kemudian. “Maaf tadi udah agak kasar ngusir-ngusir segala.”
“Nggak apa-apa,” jawabku. “Akhir-akhir
ini aku nggak tahu kenapa lihat kamu terus, dan aku penasaran.”
“Oh, ya? Maaf aku nggak terlalu
perhatiin sekitar. Penasaran gimana?”
“Kamu di sini seorang sendiri. Tapi
kamu begitu hidup, dan itu pun gara-gara sebuah buku. Sorry, novel.”
“Yah, novel sudah kujadikan seperti
sahabat sejak dulu.”
“Oh, ya? Kok bisa?”
“Novel memperkenalkanku pada dunia
yang baru. Dunia yang belum pernah kutemui sepenuhnya, bahkan belum sama sekali.
Novel memperkenalkanku tempat-tempat yang sangat indah, biasa saja, bahkan sampai
yang sangat menyeramkan sekali pun. Novel juga memperkenalkankku orang-orang
baru, dengan kepribadian-kepribadian yang beragam tentunya.
“Seperti sebuah perjalanan. Seakan
aku sedang diajak berpetualang. Bagaimana menurutmu?” lanjutnya bertanya.
Keren
banget!
“Bisa dimengerti.”
“Novel juga mempunyai sifat berbagi
terhadap pembacanya—terutama aku sendiri. Novel berbagi rasa takut, sedih,
senang, dan lainnya disepanjang perjalanan. Maksudku, disepanjang aku membaca
novel. Sudah sering aku ikut terbawa emosi ketika membaca. Kadang aku berpikir,
kok aku mirip ibuku ketika nonton sinetron di tv, ya? Ribet sendiri begitu intinya.
Paham?”
Aku mengangguk. “Makanya aku sering
lihat kamu senyum-senyum sendiri. Kadang nampak kecewa. Suka komat-kamit, kadang
seperti mengomeli sesuatu dengan bahasa lain. Kayak tadi.”
“Aduh.” Dia menunduk kepala.
“Nggak usah malu. Kenapa juga?
Justru aku iri sama kamu. Punya dunia sendiri yang bisa membuat orang lain
terheran-heran.”
Dia tertawa tidak percaya. “Kamu
juga bisa, kok.”
“Boleh minta nomor WA kamu?” tanyaku
tiba-tiba.
Alisnya mengerut. “Buat?”
“Mau minjem novelmu itu. Sad Girls. Kan aku udah bilang tadi tertarik
dan penasaran mau baca,” ucapku. “Sepertinya otakku mau ngintip dunia lain
sedikit-sedikit. Boleh, kan”
“Oh.” Dia meminta gawaiku dan
mengetik nomornya di sana. “Mungkin nanti ketika kamu juga sudah kelar membaca
buku ini,” katanya masih sibuk dengan gawaiku, “kita juga bisa bertukar
pikiran. Katamu isi kepala masing-masing pembaca mengenai buku bisa berbeda,
kan?”
“Ya,” kataku dan dia menyerahkan
gawaiku. “Pokoknya nanti aku bakal sering-sering nagih.”
“Terserah. Aku bakal lama balasnya
nanti, maaf-maaf aja, nih.”
Aku tersenyum dan berterima kasih. “Mungkin
aku bisa minjem novelmu yang lain dulu?” tanyaku.
Yeah, aku tak mau percakapan kami berakhir.
No comments:
Post a Comment
Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini