Pertengahan
juli yang mendung, namun tak juga kunjung hujan. Pada akhirnya aku berangkat
menuju Mojokerto, tempat di mana salah satu saudara temanku tinggal. Awalnya
aku ragu pergi untuk beberapa alasan. Pertama, aku merasa sedikit malas; aku
ingin melakukan sesuatu yang lain. Kedua, apa yang akan aku lakukan sesampainya
di sana? Toh, aku tidak mempunyai urusan. Untuk alasan-alasan lainnya, entah,
aku lupa.
Di perjalanan aku hampir takjub
setiap waktu. Bagaimana tidak, di setiap mata memandang, berbagai dedaunan
hijau selalu nampak. Mereka begitu rapih. Maklum, karena memang begitulah
seharusnya perkebunan tertata. Belum lagi dengan gunung-gunung yang menjulang
tinggi, dilengkapi dengan pemandangan pedesaan dan sungai-sungai kecil di kaki-kaki
mereka. Melihat itu semua, aku memejamkan mata, lalu mencoba merasakan nikmat
itu semua dengan menghirupnya. Sudah lama aku tak merasakan ini; merasakan
ciptaan Tuhan, benakku. Aku juga tak tahu mengapa tiba-tiba aku memikirkan hal
itu, tetapi mungkin ini karena aku sudah tinggal di perkotaan besar yang
dipenuhi oleh desakan gedung-gedung bertingkat, dan juga kendaraan yang
menyembur polusi di sana-sini.
Kami tiba di tempat tujuan sekitar
ba’da ashar, lalu kami dijamu dengan sangat baik: kami dihidangkan beberapa
minuman dan juga semangkuk bakso, dan kemudian kami beranjak tidur untuk
istirahat.
Setelah itu kami bangun—temanku
sudah bangun terlebih dahulu, bersiap-siap untuk salat magrib, dan beberapa
saat kemudian, kami berjalan menuju rumah saudaranya yang satu lagi—entah siapa
itu. Kami saling bersapa ramah dengan ibu dan bapak rumah, dan aku juga
mengenalkan diri. Lalu disambut oleh perbincangan ringan yang entah ke mana
arah tujunya. Terkadang mereka menanyakan tentang kota kelahiranku, namun yang paling
banyak dibicarakan di sana adalah tentang persoalan pengolahan makanan dan
kesehatan—yang tentunya belum pernah kuketahui sebelumnya.
Hingga beberapa lama menit berlalu, ketika si
bapak keluar sebentar dan kami hendak berpamitan, si ibu berkata memecahkan
keheningan, “Saya pernah bermimpi,” katanya, “entah kalian mau percaya atau
tidak.”