Monday 8 February 2016

Sebuah Keputusan di antara Rintik Hujan

by: Dambelu

       Kemarin, saat senja mulai merobek langit-langit sore, aku terpaku akan sosokmu yang tengah berdiri di keramain kota. Bukan untuk pertama kalinya, tetapi sudah beberapa kejadian ini terulang.
     Dan sekarang, di waktu sama, aku melihat dirimu kembali, tetapi kini kau tengah berdiri dengansabar menungu agar lampu berganti merah. Dengan penangkal hujan yang digenggam, kau mulai melangkahkan kaki menuju seberang jalan. Diriku yang sedari tadi di belakangmu sontak mengikuti dengan sendirinya.


      Kemana kau akan pergi? Bukan, lebih tepatnya, kemana aku akan dibawa pergi?
     Jangan kau salahkan diriku yang selalu mencoba menghantuimu, namun jangan juga kau salahkan dirimu yang membuatku selalu mencoba berbuat demikian. Lalu, siapa yang pantas disalahkan?

     Salahkanlah waktu yang telah membuat kedua mata kita saling bertemu, sehingga meninggal secercah perasaan yang membekas di hati. Apakah perasaan itu? Aku rasa itulah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama, dari mata turun ke hati, dan aku berharap kau merasakan apa yang sedang kurasakan.

     Rintik-rintik hujan yang sedari tadi tak kunjung reda telah membasahi sebagian celana jeans-ku. Dengan sebuah payung sederhana yang sedang kugenggam, kulihat kau dari kejauhan. Berbadan tinggi, tegap dan  berisi, langkah demi langkah yang sangat teratur, membuat dirimu mencermikan sosok yang sangat berwibawa.

     Ketika hendak berbelok di pertigaan depan, kau berhenti melangkah secara mendadak. Aku pun berhenti dengan waswas, takut kau menyadari keberadaanku yang tengah membuntutimu. Dan ketika kau menoleh ke arahku, jantungku seakan ingin melonjak keluar dari tempat asalnya.

     Kau berjalan mendekat, dan aku hanya bisa menatapmu dengan seksama.

     “Kenapa kau mengikutiku?” kau bertanya setelah tepat di hadapanku.

     “Siapa juga yang mengikutimu? Aku hanya kebetulan lewat,” jawabku gugup. Maaf, terpaksa diri ini telah berbohong kepadamu.

    “Oh, benarkah? Tapi sepertinya jalan ini akan berakhir buntu, dan hanya satu rumah di sini yang tersisa, dan itu adalah rumahku. Jadi, alasan apa lagi yang tersisa selain mengikutiku?” tanyamu lagi, namun kali ini dengan tatapan bengis.

     Aku hanya bisa tertunduk malu. Kau membuatku tak bisa berkutik sedikit pun. Aku mengira kau akan marah, membentak, dan membenci diriku, tetapi kau malah bersikap sebaliknya.

     “Karena sudah terlanjur sejauh ini, kau harus mampir ke kediamanku. Anggap saja sebagai hukumanmu yang telah menguntitku. Lagi pula hujan belum berhenti. Lebih baik mencari tempat berteduh, bukan?” Dan tatapan bengismu menjadi cahaya malaikat yang menentramkan setiap orang yang melihatnya.

     Dengan pasrah, dan juga bahagia yang sangat amat, aku menuju ke kediamanmu. Ternyata rumahmu begitu sederhana, tetapi bukan berarti kau orang yang tak mampu. Hidup seorang diri sepertimu sudah bisa dibilang berkecukupan. Hanya saja kau tidak suka sesuatu yang berlebihan, begitu bukan?

     “Jadi, apa yang sedang coba kau lakukan terhadapku? Oh, silahkan duduk!” ucapmu merebahkan diri di atas sofa.

     “Seperti yang kau bilang barusan, apakah kurang jelas? Sepertinya tidak ada gunanya aku berbohong.” Aku duduk sesuai perkataanmu.

     “Ya, maksudku kenapa kau menguntitku?”

     Oh, astaga. Kenapa langsung bertanya ke pokok permasalahan? Apa yang harus kukatakan selain aku mencintamu? Ini membuatku gila!

     Oh, astaga. Kenapa langsung bertanya ke pokok permasalahan? Apa yang harus kukatakan selain aku mencintamu? Ini membuatku gila!

     “Astaga, aku lupa,” kau beranjak melewatiku.”Kau mau teh atau kopi? Tubuhmu butuh kehangatan sepertinya.”

     “Teh.”

     Kehangatan? Lebih tepatnya kehangatanmulah yang kuinginkan!

     “Silahkan diminum. Anggap saja rumah sendiri,” ucapmu setelah kembali dalam beberapa menit.

     “Rumah kita berdua juga boleh.”

     Sial, kenapa aku begitu bodoh mengatakan hal konyol seperti itu!

     “Boleh saja, dan itu memang keinginanku.”

     Dengan satu hentakan cepat kuhabiskan secangkir teh hangat yang telah kau sajikan. “Kau berkata apa barusan?”

    “Alasanmu menguntitku adalah karena kau ingin lebih mengetahui tentang diriku, dan juga untuk memastikan apakah aku sudah beristri apa belum. Bukankah begitu?

    Aku terheran-heran, kenapa setiap perkataannya selalu tetap sasaran? Apakah dia sudah membaca isi pikiranku sebelumnya? Atau bahkan hati?

     “Biar kuperjelas, apakah kau mencintaiku? Asal kau tahu, aku juga mencintaimu, walau hanya diam. Tapi tindakanmu sore ini telah menjawab semua pertanyaan yang selalu berkecamuk di pikiranku.

     Aku memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya secara perlahan. “Aku juga mencitaimu dalam diam. Tetapi hari ini aku begitu ceroboh telah melakukan hal yang begitu frontal.”

     Kau berdiri dengan gagahnya dari sofamu, lalu tersenyum lebar. “Kalau begitu, besok pagi setelah matahari sudah mencapai titik petang, aku akan datang ke rumahmu. Jangan tanya mengapa, karena aku akan segara melamarmu.”

No comments:

Post a Comment

Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini