Monday 13 March 2017

Permainan Sebuah Koin





Dari sudut manapun, rumah itu terlihat seperti gula putih yang sedang dikerumuni para semut. Di balik garis kuning sebelum gerbang keluar, para warga terdekat berkerumun untuk menyaksikan. Orang-orang yang sedang melintas berhenti dari tujuannya semula, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, yang akhirnya dari kejauhan hanya terdengar seperti radio rusak. Nafas mereka mengepul, membuat segumpal asap bertebaran di udara. Kebanyakan dari mereka beralih meraih ponselnya, lalu mengambil gambar dan menyebarkannya di media sosial dengan coretan kata-kata, yang menurut mereka harus dilakukan agar terlihat kekinian, sementara sisanya merasakan duka atas kejadian yang mengenaskan itu. Di belakang mereka semua terdapat beberapa mobil polisi dan ambulan yang sudah tiba sejak fajar menampakan dirinya. Di halaman yang cukup luas sebelum mendekati pintu masuk, orang-orang yang berasal dari kepolisian tengah menyelediki pemuda yang sudah tidak bernyawa itu. Karena kasus kali ini membuat otak mereka tidak berjalan dengan normal, jadi mereka yang bahkan memiliki kewenangan khusus itu pun lebih memilih untuk tidak memperburuk keadaan sampai semua nampak jelas dalam nalar manusia.
 Seorang pemuda berbadan kekar berlutut dengan kedua tangan menyentuh tanah, menundukkan kepalanya yang diikuti oleh linangan air mata setiap kali orang-orang yang mengelilinginnya menghujani berbagai pertanyaan.

"Saya lupa memberitahunya semalam," ucapnya ketika dimintai penjelasan.

"Koin ini," lanjutnya dengan isak yang semakin menjadi, menatap lurus benda bundar keemasan yang ada dalam genggamannya, "seharusnya tidak boleh lepas darinya, lalu dibelanjakan, apapun itu."



***



Jam dinding telah beralih menunjukkan tengah malam. Angin berhembus kencang dan turunnya butiran-butiran kristal membekukan seluruh penjuru Jepang. Awan bergerak cepat dalam gulita. Ketika musim dingin berlangsung, Hokkaido mampu membuat orang-orang menahan diri keluar dari kediamannya, menghangatkan diri dengan bara api atau dengan penghangat buatan, atau tidur seharian sampai merasa lelah.

Sepanjang hari, Taiki mengurung diri di kediaman temannya yang bernama Sena. Hal yang mereka lakukan hanyalah bermain video game, terkadang salah satunya keluar dengan terpaksa untuk mengisi perut mereka yang sudah meminta jatah makan. Dan setelah berjam-jam berlalu, otak mereka berusaha mencari kegiatan lain yang pantas dilakukan untuk mengusir kejemuan yang melanda.

“Taiki, apa yang harus kita lakukan saat ini?” tanya Sena merebahkan diri ke atas kasurnya.

Taiki hanya mengendus kesal, menyandarkan punggungnya ke tembok terdekat. “Aku bingung harus melakukan apa. Hari sudah larut, tetapi belum juga merasa ingin pergi tidur.”

“Padahal cuaca begitu dingin.”

Dalam beberapa saat, keheningan mendominasi suasana, lalu suara Sena mengacaukannya.

“Mungkin kita harus melakukan sesuatu yang tidak biasa.”

“Apa?” Taiki menoleh heran.

Sena beranjak duduk. Mereka saling menatap.

“Kau pernah bermain Kokkori-san?” Sena tersenyum licik.

“Belum. Tunggu, jangan bilang kita akan bermain permainan semacam itu?”

“Kau takut?”

“Kau mengenalku dengan baik, Sobat. Aku tidak percaya hal yang berbau takhayul.”

“Maka yang harus kita lakukan adalah membuktikannnya.” Sena beranjak ke lemari belajarnya, berusaha memperoleh sesuatu.

Kukkori-san. Sepanjang satu semester sebelum liburan musim dingin tiba, Sena dan teman-teman kelasnya selalu menggosipkan hal tersebut. Sedangkan Taiki, dari kejauhan di tempat duduknya berada, ia hanya memastikan agar kedua telinganya tidak menangkap satu pun apa yang mereka bicarakan. Menurutnya, hal yang berbau takhayul macam itu adalah suatu ketidakmungkinan untuk terjadi. Apakah sebegitu tertariknya mereka terhadap hantu, hah? Pikirnya.

“Taiki, ayo naik,” ujar Sena menepak-nepakkan tangannya ke atas kasur usai kembali, dan Taiki melakukan perkataan sahabatnya itu.

Kini di hadapannya terdapat selembar kertas berukuran A3 dan spidol merah di tangan Sena. Sesuai informasi yang telah masuk dalam pikirannya, Sena menghiasi kertas itu dengan melukiskan sebuah torii, dan menuliskan kata Hai (はい) dan Iie (いいえ) tepat di samping kiri dan kanannya. Lalu pada bagian bawah ia menulis sederet angka 0 hingga 9 dan sejumlah huruf Hiragana.

“Ada yang kurang. Kau punya koin? Aku tidak menemukannya di mana-mana tadi,” ucap Sena.

“Oh, tunggu sebentar. Sepertinya ada. Nih!”

“Terima kasih. Letakan koinnya di atas torii. Nah, bagus. Sekarang letakkan telunjukmu di atas koin seperti ini. Sempurna. Oh, jangan lupa untuk menyelimuti badanmu.”

Sena beranjak menekan tombol sakelar dan membuka jendela selebar mungkin. Pemandangan sekitar menjadi gelap. Angin dingin serontak masuk, namun cahaya bulan sedikit menerangi mereka.

Taiki dan Sena berhempit-hempitan, menyatukan tubuh mereka dengan memperebutkan selimut.

“Kenapa kau buka jendelanya?” ujar Taiki menggigil.

“Karena dengan begini Kukkori-san mudah masuk,” kata lawan bicaranya yang tak kalah menggigilnya.

“Kau percaya hantu?”

“Tentu saja.”

“Hantu tidak memiliki wujud fisik. Ia bisa masuk dari mana saja. Tidak usah membuka jendela!” kata Taiki semakin jengkel.

“Aku hanya mengikuti informasi yang kudapat, kau paham?” respon Sena dengan tenangnya. “Sekarang ayo kita mulai.”

Sena mulai mengatakan sesuatu berulang kali seolah ia memanggil seseorang untuk datang. Hening. Lalu tiba-tiba telunjuk mereka yang sedari tadi menyatu dengan koin melaju dengan pesat menuju kata ‘Hai’.

Taiki masih menggigil, tapi wajahnya lebih memutih seperti mayat. Sementara Sena hanya terpaku pada koin itu dengan senyum yang sangat dipaksakan.

“Si-siapa kamu?” ujar Taiki dengan terbata-bata.

Untuk kedua kalinya, jemari mereka melaju pesat. Namun kali ini koin itu tertuju pada sejumlah huruf Hiragana, yang pada akhirnya membentuk suatu kata. Mereka saling menatap dengan penuh tanda tanya, lalu bersamaan menelan ludah dengan berat.

“Kamu… kepala jendral itu?” ujur Sena menatap seisi ruangan.

Mulai saat itu setiap pertanyaan yang mereka ajukan dijawab dengan kata-kata yang digerakan oleh koin itu.

“Kau tau dia, Sena?” bisik Taiki dengan begitu hati-hati.

“Ya. Kuribayashi. Salah satu jenderal terhomat di masanya. Jangan remehkan aku, Taiki. Kalau berbicara tentang sejarah, kau bisa bertanya apa saja padaku.”

Dan seterusnya, mereka mengajukan berbagai pertanyaan kepada Jendral Kuribayashi itu. Tentang kapan dia mati, bagaimana ia mati, dan bahkan hal-hal lainnya yang lebih mendalam: punya istri berapa dahulu?

“Lucu sekali dia!” kata Sena dengan tawa yang terbahak-bahak.

Buku-buku di meja belajar berserakan ke permukaan dalam hitungan detik. Apa angin begitu kencang malam ini? Urat-urat nadi Sena langsung menegang, tangan kirinya refleks merangkul Taiki. Nafasnya berirama begitu kencang, jelas sekali tak beraturan.

“Jangan bermain-main dengan hantu,” ucap Taiki.

“Kukira Jendral ini punya selera humor.”

“Lebih baik kita sudahi saja permainan ini. Jangan sampai terjadi yang tidak-tidak.”

Sena menguap dan mengeluarkan cairan di matanya. “Ya, aku juga berpikir begitu. Aku mau tidur.”

“Sebelum itu, aku punya satu pertanyaan padanya, Sena.”

“Mau bertanya apa?”

“Wahai Kukkori-san.” Taiki berdeham, mengambil nafas dalam-dalam, lalu berkata, “Kapan aku akan mati?”

 “Apa?”

Koin itu bergerak lagi seperti sebelumnya. Namun kali ini dua pemuda itu dibuat tercengang oleh jawabannya.

“Terima kasih Kukkori-san! Kau boleh pergi sekarang!” ucap Sena dengan secepat mungkin, dan kini mereka melepaskan jemarinya dari koin itu. “Kenapa kau bertanya begitu, hah?” ujarnya, sambil menunjuk ke dada Taiki.

“….”

“Lupakan!” lanjutnya sambil mengibaskan tangannya di udara. “Lebih baik kita tidur sekarang!”

“….”

“Taiki!” Sena meraih kedua pundak Taiki, lalu mengguncangnya.

“Jadi… besok aku akan mati, ya?” ucap Taiki. Garis simpul di bibirnya bergetar, matanya melebar menatap ke arah yang tak menentu, kekacauan jelas hinggap di wajahnya.

“Kau bilang tidak percaya pada sesuatu yang berbau mitos bukan?”

Taiki hanya menggangguk pelan.

“Kalau begitu lupakan saja omong kosong ini! Kau mati besok? Hah! Yang benar saja!”

Sena merapihkan kertas dan spidol yang digunakan di atas meja belajarnya, sedangkan Taiki memasukkan koin itu kembali ke dalam sakunya.



Taiki terbangun, temannya masih tenggelam dalam dengkur. Sebenarnya ia tak benar-benar tertidur, sedangkan saat ini pukul empat pagi. Satu-satunya hal yang paling mendebarkan dalam hidupnya selain menyatakan cinta adalah kabar yang mengatakan bahwa ajal akan menjemputnya hari ini. Ini gara-gara bermain Kukkori-san! Benaknya. Hatinya menjadi bercampur-aduk. Dengan pikiran yang sudah lepas kendali, ia memutuskan untuk kembali ke rumah tanpa sepengetahuan temannya itu.

Ia keluar dari kamar, dan menuruni anak tangga dengan was-was. Seluruh ruangan nampak gelap, semua penghuni rumah itu masih terjaga. Jam dinding menggemakan seisi lantai dasar. Ketika berbelok ke ruang tamu, ia megambil jaketnya yang digantung dekat pintu keluar, memakainya rapat-rapat, dan seperti biasa, kedua tangannya menggapai dasar saku celananya. Dan saat itulah ia teringat, koin yang semalam digunakan untuk bermain masih ada padanya. Ia jadi semakin gelisah. Kata-kata yang terbaca semalam semakin menghantui pikirannya. Apa yang harus ia lakukan? Lalu ia melemparkan koin tersebut ke atas sofa, meraih gagang pintu, dan keluar dalam satu hentakan.

Baru saja melangkah menuju rumahnya—tepat di depan pintu keluar setelah tertutup, ia mematung. Kakinya mati rasa. Jantungnya berdetak tak karuan. Kini di hadapannya terdapat sebuah sosok. Matanya tak lagi nampak, tapi jelas sekali sosok itu sedang melototinya. Kulit di wajahnya mengelupas, dihiasi darah, daging dan tulang. Ditambah lagi sosok itu setengah terlihat, dan tak menapak.

Ia sempat hendak berteriak, namun ketika mulutnya terbuka, tak ada satu pun kata yang bisa dikeluarkan. Dengan satu hentakan cepat Taiki terseret, dirinya melonjak kaget. Sekarang ia mengapung di udara, matanya sanggup menjelajahi seluruh Tokyo, dan ketinggian itu semakin membuatnya melewati batas ketakutan.

Beberapa detik setelah itu, Taiki terseret kembali. Kali ini ia meluncur dengan pesat. Sosok itu sedang menanti tepat di bawahnya. Dan entah mengapa, saat itu ia dapat berteriak seolah seluruh penjuru negeri dapat mendengarnya. Ketika kepalanya hendak berpijak, terdapat kesalahan dengan organ pernafasannya. Sesak. Seakan ada tali yang mencekam lehernya dengan kuat. Tak lama setelah itu, jantungnya berhenti berdetak. Ia tak pernah sadarkan diri lagi untuk selamanya.



Mendengar suara yang memekik itu, Sena sontak terbangun. Ia mengenalnya. Tanpa menghiraukan betapa dinginnya pagi itu, ia berlari menuju sumber suara tersebut secepat mungkin. Ketika membuka pintu keluar, ia histeris. Air matanya mulai berjatuhan. Ia merasa tak lagi berdaya. Tubuhnya yang berotot jatuh bertulut, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Itu adalah temannya. Kenapa? Ada apa dengan Taiki? Apa yang sebenarnya telah terjadi? Berbagai macam pertanyaan muncul dalam pikirannya. Beberapa saat kemudian, anggota keluarganya yang juga ikut terbangun, kemudian memeluknya dengan berat. Para tetangga juga bermunculan di depan halamannya itu. Kebanyakan dari mereka memperlihatkan wajah ketakutan. Lalu sebagian dari mereka menghubungi pihak berwenang dengan nada yang kacau-balau.

“Halo, 911…”

“…di sini ada mayat…”

“…kejadiannya aneh…”

“…cepatlah datang, Pak polisi!”

Dekat pintu keluar di halaman yang cukup luas, sembari menunggu kedatangan para pihak yang berwenang, kini di hadapan mereka semua terdapat seorang pemuda berbadan kurus melayang terkulai lemah di antara langit dan bumi. Kakinya hendak memijak tanah. Matanya terbuka seolah hendak mengatakan sesuatu. Lidahnya menjulur keluar. Lehernya tertekan seperti tercekam, tetapi oleh apa? Jelas sekali tak satu pun benda yang menyentuh lehernya yang memerah itu.

*Torri: Portal ala jepang        


*Kukkori-san: Permainan hantu ala jepang; hantu jepang.

 

No comments:

Post a Comment

Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini