Dari sudut manapun, rumah itu
terlihat seperti gula putih yang sedang dikerumuni para semut. Di balik garis
kuning sebelum gerbang keluar, para warga terdekat berkerumun untuk
menyaksikan. Orang-orang yang sedang melintas berhenti dari tujuannya semula,
bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, yang akhirnya dari kejauhan hanya
terdengar seperti radio rusak. Nafas mereka mengepul, membuat segumpal asap
bertebaran di udara. Kebanyakan dari mereka beralih meraih ponselnya, lalu
mengambil gambar dan menyebarkannya di media sosial dengan coretan kata-kata,
yang menurut mereka harus dilakukan agar terlihat kekinian, sementara sisanya
merasakan duka atas kejadian yang mengenaskan itu. Di belakang mereka semua
terdapat beberapa mobil polisi dan ambulan yang sudah tiba sejak fajar
menampakan dirinya. Di halaman yang cukup luas sebelum mendekati pintu masuk,
orang-orang yang berasal dari kepolisian tengah menyelediki pemuda yang sudah
tidak bernyawa itu. Karena kasus kali ini membuat otak mereka tidak berjalan
dengan normal, jadi mereka yang bahkan memiliki kewenangan khusus itu pun lebih
memilih untuk tidak memperburuk keadaan sampai semua nampak jelas dalam nalar
manusia.
Seorang pemuda berbadan kekar berlutut dengan kedua tangan menyentuh tanah, menundukkan kepalanya yang diikuti oleh linangan air mata setiap kali orang-orang yang mengelilinginnya menghujani berbagai pertanyaan.
Seorang pemuda berbadan kekar berlutut dengan kedua tangan menyentuh tanah, menundukkan kepalanya yang diikuti oleh linangan air mata setiap kali orang-orang yang mengelilinginnya menghujani berbagai pertanyaan.
"Saya lupa memberitahunya
semalam," ucapnya ketika dimintai penjelasan.
"Koin ini," lanjutnya dengan
isak yang semakin menjadi, menatap lurus benda bundar keemasan yang ada dalam
genggamannya, "seharusnya tidak boleh lepas darinya, lalu dibelanjakan,
apapun itu."
***
Jam dinding telah beralih
menunjukkan tengah malam. Angin berhembus kencang dan turunnya butiran-butiran
kristal membekukan seluruh penjuru Jepang. Awan bergerak cepat dalam gulita.
Ketika musim dingin berlangsung, Hokkaido mampu membuat orang-orang menahan
diri keluar dari kediamannya, menghangatkan diri dengan bara api atau dengan
penghangat buatan, atau tidur seharian sampai merasa lelah.
Sepanjang hari, Taiki mengurung
diri di kediaman temannya yang bernama Sena. Hal yang mereka lakukan hanyalah
bermain video game, terkadang salah satunya keluar dengan terpaksa
untuk mengisi perut mereka yang sudah meminta jatah makan. Dan setelah
berjam-jam berlalu, otak mereka berusaha mencari kegiatan lain yang pantas
dilakukan untuk mengusir kejemuan yang melanda.
“Taiki, apa yang harus kita lakukan
saat ini?” tanya Sena merebahkan diri ke atas kasurnya.
Taiki hanya mengendus kesal,
menyandarkan punggungnya ke tembok terdekat. “Aku bingung harus melakukan apa.
Hari sudah larut, tetapi belum juga merasa ingin pergi tidur.”
“Padahal cuaca begitu dingin.”
Dalam beberapa saat, keheningan
mendominasi suasana, lalu suara Sena mengacaukannya.
“Mungkin kita harus melakukan
sesuatu yang tidak biasa.”
“Apa?” Taiki menoleh heran.
Sena beranjak duduk. Mereka saling
menatap.
“Kau pernah bermain Kokkori-san?”
Sena tersenyum licik.
“Belum. Tunggu, jangan bilang kita
akan bermain permainan semacam itu?”
“Kau takut?”
“Kau mengenalku dengan baik, Sobat.
Aku tidak percaya hal yang berbau takhayul.”
“Maka yang harus kita lakukan
adalah membuktikannnya.” Sena beranjak ke lemari belajarnya, berusaha
memperoleh sesuatu.
Kukkori-san. Sepanjang satu semester sebelum liburan musim dingin
tiba, Sena dan teman-teman kelasnya selalu menggosipkan hal tersebut. Sedangkan
Taiki, dari kejauhan di tempat duduknya berada, ia hanya memastikan agar kedua
telinganya tidak menangkap satu pun apa yang mereka bicarakan. Menurutnya, hal
yang berbau takhayul macam itu adalah suatu ketidakmungkinan untuk terjadi.
Apakah sebegitu tertariknya mereka terhadap hantu, hah? Pikirnya.
“Taiki, ayo naik,” ujar Sena
menepak-nepakkan tangannya ke atas kasur usai kembali, dan Taiki melakukan
perkataan sahabatnya itu.
Kini di hadapannya terdapat
selembar kertas berukuran A3 dan spidol merah di tangan Sena. Sesuai informasi
yang telah masuk dalam pikirannya, Sena menghiasi kertas itu dengan melukiskan
sebuah torii, dan menuliskan kata Hai (はい) dan
Iie (いいえ) tepat di samping kiri dan kanannya. Lalu pada bagian
bawah ia menulis sederet angka 0 hingga 9 dan sejumlah huruf Hiragana.
“Ada yang kurang. Kau punya koin?
Aku tidak menemukannya di mana-mana tadi,” ucap Sena.
“Oh, tunggu sebentar. Sepertinya
ada. Nih!”
“Terima kasih. Letakan koinnya di
atas torii. Nah, bagus. Sekarang letakkan telunjukmu di atas koin
seperti ini. Sempurna. Oh, jangan lupa untuk menyelimuti badanmu.”
Sena beranjak menekan tombol
sakelar dan membuka jendela selebar mungkin. Pemandangan sekitar menjadi gelap.
Angin dingin serontak masuk, namun cahaya bulan sedikit menerangi mereka.
Taiki dan Sena berhempit-hempitan,
menyatukan tubuh mereka dengan memperebutkan selimut.
“Kenapa kau buka jendelanya?” ujar
Taiki menggigil.
“Karena dengan begini Kukkori-san mudah
masuk,” kata lawan bicaranya yang tak kalah menggigilnya.
“Kau percaya hantu?”
“Tentu saja.”
“Hantu tidak memiliki wujud fisik.
Ia bisa masuk dari mana saja. Tidak usah membuka jendela!” kata Taiki semakin
jengkel.
“Aku hanya mengikuti informasi yang
kudapat, kau paham?” respon Sena dengan tenangnya. “Sekarang ayo kita mulai.”
Sena mulai mengatakan sesuatu
berulang kali seolah ia memanggil seseorang untuk datang. Hening. Lalu
tiba-tiba telunjuk mereka yang sedari tadi menyatu dengan koin melaju dengan
pesat menuju kata ‘Hai’.
Taiki masih menggigil, tapi
wajahnya lebih memutih seperti mayat. Sementara Sena hanya terpaku pada koin
itu dengan senyum yang sangat dipaksakan.
“Si-siapa kamu?” ujar Taiki dengan terbata-bata.
Untuk kedua kalinya, jemari mereka melaju
pesat. Namun kali ini koin itu tertuju pada sejumlah huruf Hiragana,
yang pada akhirnya membentuk suatu kata. Mereka saling menatap dengan penuh
tanda tanya, lalu bersamaan menelan ludah dengan berat.
“Kamu… kepala jendral itu?”
ujur Sena menatap seisi ruangan.
Mulai saat itu setiap pertanyaan
yang mereka ajukan dijawab dengan kata-kata yang digerakan oleh koin itu.
“Kau tau dia, Sena?” bisik Taiki
dengan begitu hati-hati.
“Ya. Kuribayashi. Salah satu jenderal
terhomat di masanya. Jangan remehkan aku, Taiki. Kalau berbicara tentang
sejarah, kau bisa bertanya apa saja padaku.”
Dan seterusnya, mereka mengajukan
berbagai pertanyaan kepada Jendral Kuribayashi itu. Tentang kapan dia mati,
bagaimana ia mati, dan bahkan hal-hal lainnya yang lebih mendalam: punya istri
berapa dahulu?
“Lucu sekali dia!” kata Sena dengan
tawa yang terbahak-bahak.
Buku-buku di meja belajar berserakan
ke permukaan dalam hitungan detik. Apa angin begitu kencang malam ini? Urat-urat
nadi Sena langsung menegang, tangan kirinya refleks merangkul Taiki. Nafasnya
berirama begitu kencang, jelas sekali tak beraturan.
“Jangan bermain-main dengan hantu,”
ucap Taiki.
“Kukira Jendral ini punya selera
humor.”
“Lebih baik kita sudahi saja
permainan ini. Jangan sampai terjadi yang tidak-tidak.”
Sena menguap dan mengeluarkan
cairan di matanya. “Ya, aku juga berpikir begitu. Aku mau tidur.”
“Sebelum itu, aku punya satu
pertanyaan padanya, Sena.”
“Mau bertanya apa?”
“Wahai Kukkori-san.”
Taiki berdeham, mengambil nafas dalam-dalam, lalu berkata, “Kapan aku akan
mati?”
“Apa?”
Koin itu bergerak lagi seperti
sebelumnya. Namun kali ini dua pemuda itu dibuat tercengang oleh jawabannya.
“Terima kasih Kukkori-san!
Kau boleh pergi sekarang!” ucap Sena dengan secepat mungkin, dan kini mereka
melepaskan jemarinya dari koin itu. “Kenapa kau bertanya begitu, hah?” ujarnya,
sambil menunjuk ke dada Taiki.
“….”
“Lupakan!” lanjutnya sambil
mengibaskan tangannya di udara. “Lebih baik kita tidur sekarang!”
“….”
“Taiki!” Sena meraih kedua pundak
Taiki, lalu mengguncangnya.
“Jadi… besok aku akan mati, ya?”
ucap Taiki. Garis simpul di bibirnya bergetar, matanya melebar menatap ke arah
yang tak menentu, kekacauan jelas hinggap di wajahnya.
“Kau bilang tidak percaya pada
sesuatu yang berbau mitos bukan?”
Taiki hanya menggangguk pelan.
“Kalau begitu lupakan saja omong
kosong ini! Kau mati besok? Hah! Yang benar saja!”
Sena merapihkan kertas dan spidol
yang digunakan di atas meja belajarnya, sedangkan Taiki memasukkan koin itu kembali
ke dalam sakunya.
Taiki terbangun, temannya masih
tenggelam dalam dengkur. Sebenarnya ia tak benar-benar tertidur, sedangkan saat
ini pukul empat pagi. Satu-satunya hal yang paling mendebarkan dalam hidupnya
selain menyatakan cinta adalah kabar yang mengatakan bahwa ajal akan menjemputnya
hari ini. Ini gara-gara bermain Kukkori-san! Benaknya. Hatinya
menjadi bercampur-aduk. Dengan pikiran yang sudah lepas kendali, ia memutuskan
untuk kembali ke rumah tanpa sepengetahuan temannya itu.
Ia keluar dari kamar, dan menuruni
anak tangga dengan was-was. Seluruh ruangan nampak gelap, semua penghuni rumah
itu masih terjaga. Jam dinding menggemakan seisi lantai dasar. Ketika berbelok
ke ruang tamu, ia megambil jaketnya yang digantung dekat pintu keluar, memakainya
rapat-rapat, dan seperti biasa, kedua tangannya menggapai dasar saku celananya.
Dan saat itulah ia teringat, koin yang semalam digunakan untuk bermain masih
ada padanya. Ia jadi semakin gelisah. Kata-kata yang terbaca semalam semakin
menghantui pikirannya. Apa yang harus ia lakukan? Lalu ia melemparkan koin
tersebut ke atas sofa, meraih gagang pintu, dan keluar dalam satu hentakan.
Baru saja melangkah menuju rumahnya—tepat
di depan pintu keluar setelah tertutup, ia mematung. Kakinya mati rasa.
Jantungnya berdetak tak karuan. Kini di hadapannya terdapat sebuah sosok.
Matanya tak lagi nampak, tapi jelas sekali sosok itu sedang melototinya. Kulit
di wajahnya mengelupas, dihiasi darah, daging dan tulang. Ditambah lagi sosok
itu setengah terlihat, dan tak menapak.
Ia sempat hendak berteriak, namun
ketika mulutnya terbuka, tak ada satu pun kata yang bisa dikeluarkan. Dengan
satu hentakan cepat Taiki terseret, dirinya melonjak kaget. Sekarang ia mengapung
di udara, matanya sanggup menjelajahi seluruh Tokyo, dan ketinggian itu semakin
membuatnya melewati batas ketakutan.
Beberapa detik setelah itu, Taiki
terseret kembali. Kali ini ia meluncur dengan pesat. Sosok itu sedang menanti
tepat di bawahnya. Dan entah mengapa, saat itu ia dapat berteriak seolah
seluruh penjuru negeri dapat mendengarnya. Ketika kepalanya hendak berpijak, terdapat
kesalahan dengan organ pernafasannya. Sesak. Seakan ada tali yang mencekam lehernya
dengan kuat. Tak lama setelah itu, jantungnya berhenti berdetak. Ia tak pernah
sadarkan diri lagi untuk selamanya.
Mendengar suara yang memekik itu,
Sena sontak terbangun. Ia mengenalnya. Tanpa menghiraukan betapa dinginnya pagi
itu, ia berlari menuju sumber suara tersebut secepat mungkin. Ketika membuka
pintu keluar, ia histeris. Air matanya mulai berjatuhan. Ia merasa tak lagi
berdaya. Tubuhnya yang berotot jatuh bertulut, tak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Itu adalah temannya. Kenapa? Ada apa dengan Taiki? Apa yang
sebenarnya telah terjadi? Berbagai macam pertanyaan muncul dalam pikirannya. Beberapa
saat kemudian, anggota keluarganya yang juga ikut terbangun, kemudian memeluknya
dengan berat. Para tetangga juga bermunculan di depan halamannya itu.
Kebanyakan dari mereka memperlihatkan wajah ketakutan. Lalu sebagian dari
mereka menghubungi pihak berwenang dengan nada yang kacau-balau.
“Halo, 911…”
“…di sini ada mayat…”
“…kejadiannya aneh…”
“…cepatlah datang, Pak polisi!”
Dekat pintu keluar di halaman yang cukup luas, sembari menunggu
kedatangan para pihak yang berwenang, kini di hadapan mereka semua terdapat
seorang pemuda berbadan kurus melayang terkulai lemah di antara langit dan bumi.
Kakinya hendak memijak tanah. Matanya terbuka seolah hendak mengatakan sesuatu.
Lidahnya menjulur keluar. Lehernya tertekan seperti tercekam, tetapi oleh apa?
Jelas sekali tak satu pun benda yang menyentuh lehernya yang memerah itu.
No comments:
Post a Comment
Kritik dan Saran silahkan ditampung di sini